A. Pendahuluan
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati dan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No.41 Tentang Kehutanan. 1999). Hutan juga merupakan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa yang tak ternilai harganya. Hal ini disebabkan karena hutan selain memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, juga ternyata memiliki nilai ekologis yang tak kalah penting dibutuhkan oleh mahluk hidup di muka bumi.
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan.
Semakin menurunnya fungsi hutan, baik secara ekologis maupun ekonomis, ditenggarai disebabkan oleh berbagai faktor. Diantara faktor-faktor yang dominan menyumbang dampak terhadap menurunnya fungsi hutan adalah pembalakan liar (ilegal logging), pengusahaan kawasan hutan yang tidak berazazkan kelestarian, alih fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan, kebakaran hutan, bencana alam dan faktor kemiskinan yang melanda masyarakat sekitar hutan.
Untuk mengurangi laju degradasi hutan tersebut, Departemen Kehutanan telah melakukan berbagai tindakan, diantaranya dengan penegakan hukum terhadap para pelaku perusak hutan, meskipun belum optimal, dan tindakan-tindakan langsung terhadap kawasan hutan yang masih ada. Tindakan langsung tersebut dilaksanakan untuk mengimbangi peningkatan laju degradasi hutan dengan cara melakukan penyelematan ekosistem hutan yang masih layak untuk dapat ditetapkan dan dikelola menjadi kawasan lindung.
Salah satu faktor, yang memiliki potensi yang sangat besar baik terhadap penyumbang kerusakan hutan sekaligus juga merupakan faktor penting dalam mensukseskan kegiatan rehabilitasi dan konservasi hutan adalah kondisi kemiskinan yang mendominasi pada masyarakat sekitar hutan. Pemerintah seringkali memfokuskan kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan hutan hanya semata pada kawasan hutan yang bersangkutan, sementara masyarakat yang tinggal di sekitar hutan seringkali diabaikan. Kondisi ini diperparah, karena pada umumnya tingkat perekonomian masyarakat sekitar hutan berada pada tingkat keluarga pra sejahtera dan menggantungkan kebutuhan hidupnya melalui kegiatan bertani/berkebun dengan cara mengubah fungsi kawasan hutan menjadi lahan pertanian/perkebunan.
B. Konsep Kemiskinan
Kemiskinan Versi PBS
Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan. Komoditas pangan terpilih terdiri dari 52 macam, sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa. Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari tahun ketahun mengalami perubahan. Menurut Indonesian Nutrition Network (INN) tahun 2003 adalah Rp 96.956 untuk perkotaan dan Rp 72.780 untuk pedesaan.
Dalam penanggulangan masalah kemiskinan melalui program bantuan langsung tunai (BLT) BPS telah menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin, seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (2005), rumah tangga yang memiliki ciri rumah tangga miskin, yaitu:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0, 5 ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
C. Implementasi Program Seed for People
Program Seed for People didasari oleh Surat Menteri Kehutanan No. 973/Menhut-V/2001 tanggal 29 Juni 2001, tentag Seed for People, bertujuan untuk : 1). Meningkatkan kualitas dan hasil tanaman hutan rakyat; 2). Sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 3). Mempercepat proses rehabilitasi lahan, dan; 4). Penguatan kelembagaan masyarakat dalam membangun hutan.
1. Melakukan secara aktif tuntutan untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta jaminan pengembangan usaha hutan rakyat dengan meningkatkan kualitas tegakan di pedesaan.
2. Melakukan gerakan pembangunan hutan tanaman yang berkualitas agar produktivitas dan kualitas hasilnya meningkat sehingga memiliki nilai manfaat dan daya saing pasar yang lebih tinggi.
3. Menempatkan masyarakat sebagai inti dalam kegiatannya sehingga kesejahteraannya meningkat.
4. Sasaran lokasi adalah daerah yang telah, sedang, dan ingin menyelenggarakan pembangunan hutan tanaman dimana masyarakatnya mempunyai keinginan untuk meningkatkan produktivitas serta mutu tanamannya melalui penerapan prinsip-prinsip perbenihan tanaman hutan yang baik.
Inti pelaksanaan kegiatan program Seed for People adalah :
1. Departemen Kehutanan, melalui UPT dibidang rehabilitasi kawasan hutan berkewajiban
a. memberikan fasilitas penuh berupa pembangunan persemaian sebanyak 1 (satu) unit, benih dan bibit bermutu, pupuk,
b. melakukan pembinaan dan bantuan teknis serta alih teknologi bidang perbenihan dan pembibitan tanaman hutan
2. Masyarakat, dalam hal ini anggota kelompok tani, berkewajiban :
a. untuk menanam dan memelihara bibit periode pertama yang dihasilkan di persemaian
b. melakukan pemeliharaan secara berkelanjutan terhadap seluruh sarana prasarana persemaian yang telah diberikan tersebut
c. mengusahakan sarana yang telah diserahkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Pada tahun 2005, Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera, selaku unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, telah melaksanakan program Seed for People dengan kelompok sasaran yaitu kelompok tani Maju Jaya, yang berlokasi di Desa Kota Lekat, Kecamatan Kerkap, Kab. Bengkulu Utara, Prop. Bengkulu.
1. Desa Kota Lekat berbatasan langsung dengan kawasan hutan, dan juga dialiri oleh salah satu sungai besar di Kab. Bengkulu Utara,
2. Masyarakat Desa Kota Lekat, sebagian besar merupakan petani sawah dan perkebunan, yang dalam kegiatan berkebunnya pada umumnya memanfaatkan secara langsung kawasan hutan sebagai lahan kebun. Sehingga kondisi hutan di sekitar hutan telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kopi dan karet.
3. Desa Kota Lekat, masih dikategorikan sebagai desa miskin.
Hasil dari pelaksanaan kegiatan Seed for People tersebut adalah :
1. Terbentuknya kelembagaan kelompok tani SFP dengan nama Kelompok Tani Maju Jaya
2. Terbangunnya persemaian semi permanent sebanyak 1 (satu) unit (± 1 hektar)
3. Tersedianya bibit tanaman hutan dan bibit multi purpose species (MPTS) sebanyak 130.000 batang, yang telah dibagikan ke anggota kelompok tani untuk di tanam di lokasi masing-masing
B. Seed for People sebagai Program Pengentasan Kemiskinan
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui Kelompok Tani Maju Jaya, maka program Seed for people ini sendiri memiliki sasaran jangka pendek dan jangka panjang.
Setelah seluruh sarana prasarana persemaian SFP di serah terimakan ke kelompok tani, seluruh fasilitas persemaian tersebut menjadi aset yang sangat berguna bagi kelompok tani. Diharapkan kelompok tani dapat mengoptimalkan produksi bibit dari persemaian tersebut untuk dijual ke pada para pengguna bibit tanaman hutan.
- pengadaan polybag (15 kg x 20.000) = Rp. 300.000,-
- pengadaan benih = Rp. 1.000.000,-
- pengadaan pupuk dan obat-obatan = Rp. 2.000.000,-
- pengadaan media = Rp. 2.000.000,-
- upah pemeliharaan (5 bulan) = Rp. 4.000.000,-
- upah angkut = Rp. 5.000.000,-
Bila diasumsikan bahwa bibit yang terjual dalam satu kali periode produksi (1 tahun) sebanyak 100.000 batang, dengan harga rata-rata Rp. 1.000,-/btg, maka didapat hasil Rp. 100.000 x Rp. 1.000 = Rp. 100.000.000,- sehingga selisih antara modal dan pendapatan 100.000.000 -14.300.000 = Rp. 85.700.000,-/tahun.
b. Jangka Panjang
Sasaran jangka panjang program SFP dalam rangka menanggulangi kemiskinan adalah melalui tambahan penghasilan masyarakat dari bibit yang telah mereka tanam pada awal kegiatan. Bibit yang telah dihasilkan pada tahun pertama kegiatan, terdiri dari bibit kayu-kayuan (mahoni, meranti, damar) dan multi purpose tree species (karet, buah-buahan) dibagikan seluruhnya kepa anggota kelompk tani, dan anggota kelompok tani berkewajiban untuk menanam bibit tersebut di lokasi kebunnya masing-masing. Diharapkan, dalam kurun waktu tertentu bibit tersebut akan tumbuh menjadi tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Pada tahun 2007, Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera melalukan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program SFP tersebut. Dari hasil monitoring dan evaluasi didapat permasalahan sebagai berikut :
2. Terbatasnya pangsa pasar untuk memasarkan bibit produksi persemaiannya. Kondisi ini disebabkan karena, pengguna bibit tanaman hutan saat ini masih di dominasi oleh instansi-instansi pemerintah (Pertanian/Perkebunan/Kehutanan) yang bergerak dibidang penanaman melalui kegiatan pengadaan barang dan jasa. Dan untuk dapat mengikuti kegiatan pengadaan barang dan jasa tersebut, maka diperlukan suatu unit usaha yang berbadan hukum.
3. Fasilitas persemaian yang secara jangka panjang diharapkan sebagai salah satu tambahan penghasilan masyarakat, baru berfungsi untuk memenuhi kebutuhan bibit dalam lingkup internal kelompok tani.
Sehingga dari permasalahan-permasalahan yang dapat ditangkap dari kegiatan mnonitoring dan evaluasi tersebut adalah bahwa program SFP belum mampu mencapai tujuannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masayarakat desa sekitar hutan.
C. Rekomendasi
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, ada beberapa alternatif rekomendasi yang dapat digunakan sebagai pemecahan masalah, yaitu :
2. Kelompok Tani tersebut melakukan merger (bekerjasama) dengan BUMS yang telah terlebih dahulu terdaftar sebagai pengada dan pengedar bibit taaman hutan
3. Kelompok Tani tersebut tetap dipertahankan, namun berfungsi sebagai penyuplai (sub kontraktor) bagi BUMS yang telah memenangkan lelang pengadaan bibit di instansi pemerintah.
4. Adanya bantuan modal dari pemerintah daerah atau swasta, yang digunakan untuk modal awal produksi bibit tahap ke dua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar