Kenaikan harga minyak
Kenaikan harga minyak di pasar dunia telah menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian pada banyak negara termasuk Indonesia. Sekalipun Indonesia merupakan negara yang mempunyai sumber minyak bumi yang cukup berlimpah namun sebagai anggota OPEC menimbulkan konsekuensi terhadap Pemerintah untuk menaikkan harga jual minyak ke luar negeri maupun dalam negeri. Kenaikan harga minyak ini kemudian telah menyebabkan efek domino kenaikan harga-harga terhadap berbagai aspek komoditi dalam negeri yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak dan transportasi.
Dalam rangka menanggulangi dampak kenaikan harga bahan bahar minyak yang dirasakan memberatkan masyarakat miskin maka Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan ini terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) serta bahan kebutuhan pokok berupa gula pasir (putih) dan minyak goreng yang diberikan setiap bulan kepada 19,1 juta keluarga sangat miskin hasil verifikasi data oleh Badan Pusat Statistik.
Pemerintah dalam menghadapi berbagai reaksi tersebut nampaknya telah membulatkan niat untuk tetap menaikkan harga bahan bakar minyak dan menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT). Berbagai persiapan telah dilakukan untuk pencairan dana dan penyalurannya kepada masyarakat sebagaimana telah disampaikan oleh Menteri Sosial dan para Menteri terkait kepada publik melalui media masa dan berbagai forum.
Krisis multi dimensional yang berawal pada tahun 1997, disusul dengan carut marutnya perekonomian Indonesia pasca runtuhnya rezim orde baru telah menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia jatuh dalam lingkaran kemiskinan. Kelompok-kelompok masyarakat ekonomi lemah bahkan terpuruk di bawah garis kemiskinan yang kronis. Penduduk miskin yang semula berjumlah 34,91 juta (BPS, 1999) meningkat menjadi 47,97 juta. Situasi dan kondisi perekonomian Indonesia belum pulih ketika tahun 2001 harga minyak bumi di pasaran dunia mulai mengalami kenaikan secara bertahap. Pada saat itu Pemerintah mulai mengurangi subsidi bahan bakar minyak untuk masyarakat dan memberikan kompensasi dalam bentuk Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi BBM (PPDPBBM) pada 11 sektor termasuk bidang Kesejahteraan Sosial.
Pada tahun 2005, harga minyak bumi di pasar dunia kembali mengalami kenaikan. Hal ini membawa konsekuensi bagi Pemerintah Indonesia untuk menyetarakan harga jual minyak di pasaran dunia dan dalam negeri. Kenaikan harga bahan bakar di dalam negeri lebih disebabkan kepada kebijakan Pemerintah yang lagi-lagi mengurangi subsidi untuk penyediaan bahan bakar bagi masyarakat. Potensi gejolak sosial yang terjadi pada saat itu dapat dikendalikan dengan kebijakan dan kompensasi yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat, yaitu bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp. 100.000,-bulan (Seratus Ribu Rupiah per bulan) kepada 19,1 juta keluarga miskin selama 1 tahun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penetapan data penerima bantuan BLT dan proses penyalurannya justru menimbulkan berbagai konflik di antara Pemerintah dan Masyarakat maupun di antara Masyarakat itu sendiri walaupun dalam skala yang relatif kecil.
Pada pertengahan tahun 2007 dan memasuki tahun 2008, harga minyak di pasaran dunia kembali melambung hingga mencapai US $ 130 per barrel. Pemerintah kembali dihadapkan pada situasi dan kondisi yang dilematis. Pengurangan dan bahkan pengurangan subsidi bahan bakar minyak untuk masyarakat dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk mengurangi beban negara dan menghemat devisa. Di sisi lain, pengurangan subsidi tersebut akan menyebabkan kenaikan harga bahan bakar dalam negeri yang kemudian berdampak terhadap kenaikan biaya transportasi, harga bahan-bahan kebutuhan pokok dan berbagai komoditi lainnya.
1. Masyarakat kurang disiapkan sejak awal untuk menggunakan energi secara hemat dan tidak diarahkan untuk menggunakan sumber energi alternatif.
2. Subsidi terhadap bahan bakar minyak yang disediakan oleh Pemerintah selama ini cenderung menyebabkan masyarakat menjadi ketergantungan dan tidak menyadari bahwa pengurangan atau penghentian subsidi tersebut akan menyebabkan peningkatan harga yang sangat signifikan.
3. Kebijakan Pemerintah di bidang perekonomian yang selalu berpihak pada kelompok pemilik modal dan lemahnya kinerja jajaran birokrasi dalam mengawasi kompetisi dunia usaha sehingga seringkali kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok di pasar dalam negeri meningkat secara signifikan dan tidak seimbang terhadap kenaikan bahan bakar minyak yang terjadi. Hal ini menyebabkan (life cost) yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin tinggi.
4. Kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin juga terbukti dari minimnya alokasi anggaran untuk program-program peningkatan kesejahteraan rakyat/kesejahteraan sosial.
5. Sarana dan prasarana pelayanan publik yang sangat terbatas dan tidak diimbangi dengan pemeliharaan yang memadai sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (misalnya sarana transportasi umum).
6. Terbatasnya pelayanan-pelayanan sosial dasar (kesehatan, pendidikan, perumahan dll) yang disediakan oleh Pemerintah. Penyelenggaraan pelayanan sosial dasar ini bahkan cenderung diserahkan kepada pihak swasta sehingga biayanya relatif mahal dan seringkali menimbulkan kompetisi yang tidak sehat di antara pelaku bisnis.
B. Kriteria Penerima Bantuang Langsung Tunai
Tidak semua lapisan masyarakat kelas bawah dapat serta merta menjadi penerima BLT, adapun kriteria masyarakat miskin yang dapat ditetapkan sebagai penerima BLT adalah (Sumatera Ekspress, 2008) :
2. Jenis lantai terbuat dari tanah/kayu/bamboo
3. Jenis dinding rumah terbuat dari bamboo, rumbia, kayu berkualitas rendah
4. Tidak memiliki jamban sendiri
5. Sumber air minum berasal dari sumur, sungai atau air hujan
6. Bahan bakar untuk memasak dari kayu bakar, arang dan minyak tanah
7. Hanya mengkonsumsi daging, susu dan ayam satu minggu sekali
8. Hanya membeli satu setel pakain dalam setahun
9. Hanya sanggup makan sebanyak satu atau dua kali setiap hari
10. Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas atau di poliklinik
11. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buru tani, nelayan, buruh bangunan atau pekerjaan lainnya dengan upah dibawah Rp. 600.000/bulan
12. Pendidikan tertinggi kepala keluarga SD
13. Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual minimal Rp. 500.000, seperti : motor, emas, ternak atau barang lainnya
14. Sumber penerangan bukan dari listrik
C. Tujuan Program BLT
D. Analisis Dampak BLT
Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti tingkat kemiskinan meningkat 1,78 persen, atau bertambah sebanyak 3,95 juta orang. Selain itu, BPS juga menyatakan, bahwa tanpa program kompensasi atau bantuan langsung tunai (BLT), jumlah penduduk miskin bisa mencapai 50,8 juta orang (23,1 persen).
Berdasarkan data tersebut juga ditunjukkan bahwa program BLT secara kasar hanya memiliki performa 76,84% dibanding bila tidak ada program BLT. Namun perlu diingat bahwa penambahan angka kemiskinan sebanyak 1,78 % pada tahun 2006 sama dengan bertambahnya jumlah keluarga miskin sebanyak 3,95 juta orang dari seluruh Warga Negara Indonesia. Suatu peningkatan kemiskinan yang sangat menghawatirkan tentunya.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gagalnya BLT
1. Proses perumusan kebijakan
Sehingga, untuk meredam dampak social yang mungkin timbul sebagai efek naiknya harga BBM di masyarakat maka pemerintah harus segera mengimbangi kebijakan menaikkan harga BBM dengan mengeluarkan kebijakan yang dianggap popular yaitu dengan program Bantuan Langsung Tunai. Pada akhirnya, kebijakan BLT ini dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa melewati rangkaian studi yang mendalam seperti pembahasan kebijakan yang mendalam, uji coba model kebijakan, uji public, debat public sosialisasi dan lain sebagainya.
2. Impelementasi Kebijakan
Ternyata, tidak hanya pada proses perumusan kebijakannya kebijakan BLT ini bermasalah, pada saat implementasinya ternyata juga banyak mengandung permasalahan mendasar yang makin memperparah buruknya peforma kebijakan ini.
Kondisi kesimpang siuran data tersebut diperparah dengan fakta bahwa di lapangan banyak sekali kesalahan dalam menentukan siapa-siapa yang berhak untuk mendapatkan BLT, dimana penentuan penerima BLT lebih banyak bersifat subjektif. Seharusnya berdasarkan kriteria penerima BLT yang telah disampaikan di atas, maka penerima BLT adalah benar-benar warga miskin yang tidak mampu membiayai hidupnya sehari-hari.
Adanya perbedaan jumlah data kemiskinan yang dikeluarkan oleh berbagai instansi yang terkait juga memperbesar kemungkinan terjadinya kongkalikong. Sehingga sekali lagi dapat dipahami mengapa kebijakan ini pada akhirnya gagal, karena implementasinya di lapangan tidak tepat sasaran.
Idealnya, pengawasan berfungi untuk menjaga dan mengawasi implementasi suatu kebijakan di lapangan, sehingga dengan diadakannya pengawasan diharapkan suatu kebijakan dapat berjalan pada jalurnya. Namun rendahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah (diakibatkan simpang siurnya data kemiskinan yang dimiliki), mengakibatkan program ini menjadi tidak tepat sasaran.
E. Rekomendasi
Terlepas dari itu semua, kita juga tetap harus ingat bahwa BLT itu program yang sifatnya adhoc, atau situasional. Dalam konteks BLT, pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai pemerintah bukanlah mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, namun hanya sebagai “program penenang” terhadap emosi sosial yang mungkin timbul sebagai dampak kenaikan harga BBM.
Namun pemerintah juga harusnya sadar bahwa program BLT ini telah menghabiskan dana APBN yang tidak kecil, sehingga apabila dilanjuttkan maka kerugian Negara yang ditimbulkan juga akan semakin besar. Sehingga sebagai rekomendasi strategis tehadap kebijakan BLT ini, hendaknya pemerintah :
1. Melakukan verifikasi data kemiskinan yang teraktual dan terjaga validitasnya dengan cara updating data kemiskinan secara kontinyu
2. Meninjau ulang jumlah uang yang disalurkan ke masyarakat miskin, karena dengan uang Rp. 100.000,-/KK tidak berarti banyak terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin
3. Melakukan program BLT hanya dalam enam bulan pasca kenaikan harga BBM, di bulan-bulan berikutnya seharusnya pemerintah telah siap dengan program-program pemberdayaan masyarakat melalui program padat karya dan padat modal secara seimbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar