Kamis, 30 April 2009

Analisis Program Bantuan Lansung Tunai (BLT)

A. Latar Belakang Program Bantuan Langsung Tunai 

Kenaikan harga minyak

Kenaikan harga minyak di pasar dunia telah menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian pada banyak negara termasuk Indonesia. Sekalipun Indonesia merupakan negara yang mempunyai sumber minyak bumi yang cukup berlimpah namun sebagai anggota OPEC menimbulkan konsekuensi terhadap Pemerintah untuk menaikkan harga jual minyak ke luar negeri maupun dalam negeri. Kenaikan harga minyak ini kemudian telah menyebabkan efek domino kenaikan harga-harga terhadap berbagai aspek komoditi dalam negeri yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak dan transportasi. 

Kenaikan harga bahan bakar minyak, transportasi dan barang-barang kebutuhan pokok dirasakan dampaknya oleh semua lapisan masyarakat tetapi tentunya yang paling berat merasakannya adalah kelompok masyarakat ekonomi lemah. Kenaikan harga berbagai kebutuhan yang tidak diantisipasi dengan upaya peningkatan kemampuan daya beli telah menyebabkan masyarakat miskin terancam keberlangsungan hidupnya. Tekanan berat yang paling dirasakan oleh masyarakat miskin utamanya adalah pada tingginya harga bahan bakar untuk kebutuhan memasak sehari-hari, biaya transportasi (ke sekolah, ke kantor) dan harga barang-barang kebutuhan pokok yang semakin mahal.

Dalam rangka menanggulangi dampak kenaikan harga bahan bahar minyak yang dirasakan memberatkan masyarakat miskin maka Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan ini terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) serta bahan kebutuhan pokok berupa gula pasir (putih) dan minyak goreng yang diberikan setiap bulan kepada 19,1 juta keluarga sangat miskin hasil verifikasi data oleh Badan Pusat Statistik.

Kebijakan dan penyaluran bantuan yang direncanakan Pemerintah akan dilaksanakan setelah penetapan dan pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak ini menimbulkan reaksi pro dan kontra dari berbagai lapisan masyarakat. Banyak pihak yang meminta agar Pemerintah tidak meluncurkan bantuan tersebut tetapi menunda penetapan kenaikan harga bahan bakar minyak. Pihak lain menyatakan bahwa sebaiknya Pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk program-program padat karya. Tidak sedikit pula pihak yang menyatakan bahwa bantuan langsung tunai (BLT) merupakan upaya ‘suap politik’ yang dilakukan oleh Pemerintah yang sedang berkuasa untuk meredam gejolak sosial masyarakat sekaligus menyiapkan jalan menuju suksesi pada tahun 2009.  

Pemerintah dalam menghadapi berbagai reaksi tersebut nampaknya telah membulatkan niat untuk tetap menaikkan harga bahan bakar minyak dan menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT). Berbagai persiapan telah dilakukan untuk pencairan dana dan penyalurannya kepada masyarakat sebagaimana telah disampaikan oleh Menteri Sosial dan para Menteri terkait kepada publik melalui media masa dan berbagai forum.  

Kemiskinan

Krisis multi dimensional yang berawal pada tahun 1997, disusul dengan carut marutnya perekonomian Indonesia pasca runtuhnya rezim orde baru telah menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia jatuh dalam lingkaran kemiskinan. Kelompok-kelompok masyarakat ekonomi lemah bahkan terpuruk di bawah garis kemiskinan yang kronis. Penduduk miskin yang semula berjumlah 34,91 juta (BPS, 1999) meningkat menjadi 47,97 juta. Situasi dan kondisi perekonomian Indonesia belum pulih ketika tahun 2001 harga minyak bumi di pasaran dunia mulai mengalami kenaikan secara bertahap. Pada saat itu Pemerintah mulai mengurangi subsidi bahan bakar minyak untuk masyarakat dan memberikan kompensasi dalam bentuk Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi BBM (PPDPBBM) pada 11 sektor termasuk bidang Kesejahteraan Sosial.  

Berbagai program di bidang perekonomian, kesejahteraan sosial dan berbagai bidang lainnya termasuk Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi BBM ini dipandang cukup membantu dalam menstabilkan kondisi perekonomian masyarakat. Hal ini terbukti dari jumlah penduduk miskin yang semula 47,97 juta turun menjadi 38,40 juta (BPS, 2002).

Pada tahun 2005, harga minyak bumi di pasar dunia kembali mengalami kenaikan. Hal ini membawa konsekuensi bagi Pemerintah Indonesia untuk menyetarakan harga jual minyak di pasaran dunia dan dalam negeri. Kenaikan harga bahan bakar di dalam negeri lebih disebabkan kepada kebijakan Pemerintah yang lagi-lagi mengurangi subsidi untuk penyediaan bahan bakar bagi masyarakat. Potensi gejolak sosial yang terjadi pada saat itu dapat dikendalikan dengan kebijakan dan kompensasi yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat, yaitu bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp. 100.000,-bulan (Seratus Ribu Rupiah per bulan) kepada 19,1 juta keluarga miskin selama 1 tahun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penetapan data penerima bantuan BLT dan proses penyalurannya justru menimbulkan berbagai konflik di antara Pemerintah dan Masyarakat maupun di antara Masyarakat itu sendiri walaupun dalam skala yang relatif kecil.

Pada pertengahan tahun 2007 dan memasuki tahun 2008, harga minyak di pasaran dunia kembali melambung hingga mencapai US $ 130 per barrel. Pemerintah kembali dihadapkan pada situasi dan kondisi yang dilematis. Pengurangan dan bahkan pengurangan subsidi bahan bakar minyak untuk masyarakat dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk mengurangi beban negara dan menghemat devisa. Di sisi lain, pengurangan subsidi tersebut akan menyebabkan kenaikan harga bahan bakar dalam negeri yang kemudian berdampak terhadap kenaikan biaya transportasi, harga bahan-bahan kebutuhan pokok dan berbagai komoditi lainnya.

Masyarakat miskin (rumah tangga) adalah kelompok yang paling merasakan beban berat akibat kenaikan bahan bakar minyak. Meningkatnya biaya untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan atau kemampuan daya beli menyebabkan masyarakat semakin terpuruk dalam kondisi yang miskin dan menjerat. Kerentanan terhadap gejolak ekonomi dan rendahnya kemampuan daya beli masyarakat merupakan permasalahan yang sudah terjadi sejak lama di Indonesia dan semakin berlarut-larut dengan adanya kenaikan harga BBM. Ini terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
1. Masyarakat kurang disiapkan sejak awal untuk menggunakan energi secara hemat dan tidak diarahkan untuk menggunakan sumber energi alternatif.
2. Subsidi terhadap bahan bakar minyak yang disediakan oleh Pemerintah selama ini cenderung menyebabkan masyarakat menjadi ketergantungan dan tidak menyadari bahwa pengurangan atau penghentian subsidi tersebut akan menyebabkan peningkatan harga yang sangat signifikan.
3. Kebijakan Pemerintah di bidang perekonomian yang selalu berpihak pada kelompok pemilik modal dan lemahnya kinerja jajaran birokrasi dalam mengawasi kompetisi dunia usaha sehingga seringkali kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok di pasar dalam negeri meningkat secara signifikan dan tidak seimbang terhadap kenaikan bahan bakar minyak yang terjadi. Hal ini menyebabkan (life cost) yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin tinggi.
4. Kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin juga terbukti dari minimnya alokasi anggaran untuk program-program peningkatan kesejahteraan rakyat/kesejahteraan sosial.
5. Sarana dan prasarana pelayanan publik yang sangat terbatas dan tidak diimbangi dengan pemeliharaan yang memadai sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (misalnya sarana transportasi umum).
6. Terbatasnya pelayanan-pelayanan sosial dasar (kesehatan, pendidikan, perumahan dll) yang disediakan oleh Pemerintah. Penyelenggaraan pelayanan sosial dasar ini bahkan cenderung diserahkan kepada pihak swasta sehingga biayanya relatif mahal dan seringkali menimbulkan kompetisi yang tidak sehat di antara pelaku bisnis. 
 
B. Kriteria Penerima Bantuang Langsung Tunai 

Tidak semua lapisan masyarakat kelas bawah dapat serta merta menjadi penerima BLT, adapun kriteria masyarakat miskin yang dapat ditetapkan sebagai penerima BLT adalah (Sumatera Ekspress, 2008) : 

1. Lantai bangunan rumah, kurang dari 8 m2/orang 
2. Jenis lantai terbuat dari tanah/kayu/bamboo 
3. Jenis dinding rumah terbuat dari bamboo, rumbia, kayu berkualitas rendah 
4. Tidak memiliki jamban sendiri 
5. Sumber air minum berasal dari sumur, sungai atau air hujan 
6. Bahan bakar untuk memasak dari kayu bakar, arang dan minyak tanah 
7. Hanya mengkonsumsi daging, susu dan ayam satu minggu sekali 
8. Hanya membeli satu setel pakain dalam setahun 
9. Hanya sanggup makan sebanyak satu atau dua kali setiap hari 
10. Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas atau di poliklinik 
11. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buru tani, nelayan, buruh bangunan atau pekerjaan lainnya dengan upah dibawah Rp. 600.000/bulan 
12. Pendidikan tertinggi kepala keluarga SD 
13. Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual minimal Rp. 500.000, seperti : motor, emas, ternak atau barang lainnya
14. Sumber penerangan bukan dari listrik 

C. Tujuan Program BLT 

Program Bantuan Langsung Tunai ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang menurun sebagai dampak dihapuskannya subsidi BBM. Hal ini juga disebabkan karena berdasarkan analisis subsidi BBM yang diberikan oleh pemerintah sering tidak tepat sasaran, mengingat konsumsi BBM terbesar dilakukan masyarakat kelas menengah ke atas. Sehingga Pemerintah mengalihkan subsidi tersebut dalam bentuk bantuan langsung tunai yang langsung diterima oleh masyarakat miskin yang sudah terdata.

D. Analisis Dampak BLT 

Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti tingkat kemiskinan meningkat 1,78 persen, atau bertambah sebanyak 3,95 juta orang. Selain itu, BPS juga menyatakan, bahwa tanpa program kompensasi atau bantuan langsung tunai (BLT), jumlah penduduk miskin bisa mencapai 50,8 juta orang (23,1 persen). 

Data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya program kompensasi BLT oleh pemerintah maka jumlah keluarga miskin di Indonesia periode 2006 meningkat 1,78 % pada periode 2005. Ini menunkkan bahwa program ini telah berhasil menekan tingkat kemiskinan di Indonesia sebanyak 5,35 %, dibanding bila tidak ada progam BLT yang diperkirakan mencapai 23,1 %. 

Berdasarkan data tersebut juga ditunjukkan bahwa program BLT secara kasar hanya memiliki performa 76,84% dibanding bila tidak ada program BLT. Namun perlu diingat bahwa penambahan angka kemiskinan sebanyak 1,78 % pada tahun 2006 sama dengan bertambahnya jumlah keluarga miskin sebanyak 3,95 juta orang dari seluruh Warga Negara Indonesia. Suatu peningkatan kemiskinan yang sangat menghawatirkan tentunya. 

Dengan tetap bertambahnya kemiskinan, bisa disimpulkan bahwa program BLT tidak efektif untuk meredam kemiskinan seluruhnya. Seberapa efektifkah program BLT? Kalau kita meminjam angka-angka press-release BPS, di mana tingkat kemiskinan akan menjadi 23.1 persen tanpa program BLT, sementara realitanya adalah 17,75 persen, maka secara kasar, efektivitas program BLT hanyalah 76 persen. Subjektif, memang jika kita harus menilai apakah tingkat efektivitas ini baik atau buruk. Tapi yang pasti, jika tujuannya efektif meredam semua dampak kemiskinan, program BLT telah gagal. 

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gagalnya BLT 

1. Proses perumusan kebijakan

Tidak dapat disangsikan lagi bahwa program BLT yang dilaksakanan oleh pemerintah sebagai dampak kompensasi kenaikan BBM dilakukan dengan sangat terburu-buru, hal ini dapat dipahami karena desakan yang sangat kuat terhadap pemerintah untuk sesegera mungkin mengoreksi APBN sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah beralasan bahwa jalan satu-satunya untuk menyelamatkan APBN sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia adalah dengan menaikkan harga BBM.

Sehingga, untuk meredam dampak social yang mungkin timbul sebagai efek naiknya harga BBM di masyarakat maka pemerintah harus segera mengimbangi kebijakan menaikkan harga BBM dengan mengeluarkan kebijakan yang dianggap popular yaitu dengan program Bantuan Langsung Tunai. Pada akhirnya, kebijakan BLT ini dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa melewati rangkaian studi yang mendalam seperti pembahasan kebijakan yang mendalam, uji coba model kebijakan, uji public, debat public sosialisasi dan lain sebagainya. 

Sehingga kita dapat memaklumi mengapa sebuah kebijakan yang dilakukan tanpa persiapan yang mendalam akhirnya tentu saja berdampak tidak optimalnya kebijakan tersebut dalam mencapai tujuannya. 

2. Impelementasi Kebijakan 

Ternyata, tidak hanya pada proses perumusan kebijakannya kebijakan BLT ini bermasalah, pada saat implementasinya ternyata juga banyak mengandung permasalahan mendasar yang makin memperparah buruknya peforma kebijakan ini. 

Salah satu hal yang sangat mencolok pada saat implementasi kebijakan BLT adalah tidak adanya keseragaman data yang dimiliki oleh instansi pemerintah yang terkait dalam pendataan jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Sebut saja data yang dimiliki oleh BPS ternyata tidak sama dengan data yang dimiliki oleh Departemen Sosial, ditambah lagi validitas data yang diragukan keabsahannya. 

Kondisi kesimpang siuran data tersebut diperparah dengan fakta bahwa di lapangan banyak sekali kesalahan dalam menentukan siapa-siapa yang berhak untuk mendapatkan BLT, dimana penentuan penerima BLT lebih banyak bersifat subjektif. Seharusnya berdasarkan kriteria penerima BLT yang telah disampaikan di atas, maka penerima BLT adalah benar-benar warga miskin yang tidak mampu membiayai hidupnya sehari-hari. 

Yang terjadi dilapangan adalah, penerima BLT tidak hanya ditentukan oleh tingkat kemiskinannya, tetapi juga tingkat kedekatannya dengan ketua RT, Kepala Desa atau Lurah setempat. Sehingga wajar, bila ternyata BLT yang seharusnya diterima oleh keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor, justru diterima oleh keluarga yang memiliki sepeda motor dan digunakan untuk membayar angsuran sepeda motor tersebut. Selain itu, perlu juga diingat bahwa di Indonesia dalam satu rumah, biasanya terdiri dari beberapa kepala keluarga, sehingga bila dalam satu rumah seluruh kepala keluarganya mendapat BLT maka dapat dibayangkan besarnya dana yang dibutuhkan oleh pemerintah. 

Adanya perbedaan jumlah data kemiskinan yang dikeluarkan oleh berbagai instansi yang terkait juga memperbesar kemungkinan terjadinya kongkalikong. Sehingga sekali lagi dapat dipahami mengapa kebijakan ini pada akhirnya gagal, karena implementasinya di lapangan tidak tepat sasaran.

3. Pengawasan dan Evaluasi Kebijakan

Idealnya, pengawasan berfungi untuk menjaga dan mengawasi implementasi suatu kebijakan di lapangan, sehingga dengan diadakannya pengawasan diharapkan suatu kebijakan dapat berjalan pada jalurnya. Namun rendahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah (diakibatkan simpang siurnya data kemiskinan yang dimiliki), mengakibatkan program ini menjadi tidak tepat sasaran.  

Evaluasi kebijakan juga seharusnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan apakah suatu kebijakan harus diperbaiki, dirubah atau mungkin dihentikan sama sekali. Namun meskipun secara nyata dari data yang dikeluarkan BPS bahwa kemiskinan tetap bertambah, pemerintah tetap melanjutkan program BLT ini. Hal ini menunjukkan evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kebijakan BLT ini seringkali di abaikan oleh pemerintah sendiri.

E. Rekomendasi 

Terlepas dari itu semua, kita juga tetap harus ingat bahwa BLT itu program yang sifatnya adhoc, atau situasional. Dalam konteks BLT, pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai pemerintah bukanlah mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, namun hanya sebagai “program penenang” terhadap emosi sosial yang mungkin timbul sebagai dampak kenaikan harga BBM. 

Ada benarnya, kalau dikatakan kebijakan BLT itu lebih bersifat politis daripada menyelesaikan akar masalah kemiskinan. Yaitu supaya dukungan ke pemerintah tidak berkurang drastis sebagai dampak dari kebijakan penghapusan subsidi BBM yang tidak populis. 
Namun pemerintah juga harusnya sadar bahwa program BLT ini telah menghabiskan dana APBN yang tidak kecil, sehingga apabila dilanjuttkan maka kerugian Negara yang ditimbulkan juga akan semakin besar. Sehingga sebagai rekomendasi strategis tehadap kebijakan BLT ini, hendaknya pemerintah : 
1. Melakukan verifikasi data kemiskinan yang teraktual dan terjaga validitasnya dengan cara updating data kemiskinan secara kontinyu
2. Meninjau ulang jumlah uang yang disalurkan ke masyarakat miskin, karena dengan uang Rp. 100.000,-/KK tidak berarti banyak terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin
3. Melakukan program BLT hanya dalam enam bulan pasca kenaikan harga BBM, di bulan-bulan berikutnya seharusnya pemerintah telah siap dengan program-program pemberdayaan masyarakat melalui program padat karya dan padat modal secara seimbang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar