Era globalisasi telah membawa dampak terjadinya perubahan tatanan baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan tidak terkecuali di bidang manajemen sumberdaya alam seperti pembangunan kehutanan. Perubahan tersebut menuntut setiap negara untuk mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan global ini, apabila tidak ingin tertinggal dan tersisih dari pergaulan global termasuk dalam meraih keuntungan ekonomi yang kemudian digunakan untuk mensejahterakan rakyatnya. Kemampuan beradaptasi ini sangat ditentukan oleh daya saing yang dimiliki oleh suatu bangsa atau negara.
Pada awalnya, dimulai dari tercetusnya revolusi industri, daya saing suatu negara utamanya dalam memperoleh keuntungan ekonomi dicirikan oleh penguasaan terhadap sumber-sumber energi. Artinya, keuntungan ekonomi akan bergerak kepada mereka yang menguasai sumber energi, seperti minyak dan gas bumi. Namun, di era sekarang dan ke depan, sumberdaya manusia yang berkualitas yang kemudian disebut sebagai human capital yang dimiliki oleh suatu negaralah yang akan menentukan daya saing dalam memperoleh keuntungan ekonomi, dan menggeser peranan penguasaan terhadap sumber energi ini. Hal ini diperkuat oleh pendapat ekonom peraih nobel tahun 1992 –Gary S. Becker- yang menyatakan bahwa: ”human capital is as much part of the wealth of nation as are factories, housing, machinery, and other physical capital”, sebagaimana dikutip oleh mantan Menteri Kehutanan Dr. Ir. Muslimin Nasution dalam salah satu orasinya (www.Dephut.go.id). Dari pernyataan diatas, memberi makna bagaimana pentingnya perananan sumber daya manusia dalam menentukan keunggulan bersaing suatu sektor.
Sangat disayangkan sesungguhnya, sampai dengan saat-saat era Orde Baru, ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan klasifikasi sebagaimana dipersyarakatkan dalam meningkatkan keunggulan bersaing tersebut masih merupakan tanda tanya besar khususnya di sektor kehutanan. Kinerja yang lamban, tidak disiplin, perilaku korup, motivasi rendah, inefektif, inefisien, tidak kompeten merupakan cerminan budaya PNS khususnya di sektor Kehutanan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa, meskipun saat ini sebagian PNS sektor kehutanan telah mengalami perkembangan yang pesat dalam meningkatkan kompetensinya, namun sebagian besar masih diragukan kinerjanya. Sebagian besar PNS sektor kehutanan masih terlena dengan paradigma lama yang memandang birokrat sebagai orang yang harus di layani oleh publik.
Paradigma ini sesungguhnya merupakan warisan/budaya di masa lampau, dimana sektor kehutanan bagi sebagian besar orang dianggap sektor yang “basah”, dimana pada saat itu pihak perusahaan atau masyarakat yang mengajukan pelayanan perizinan untuk mengeksplotasi kawasan hutan akan memberikan pelayanan-pelayanan khusus bagi pejabat yang membantu dalam pengeluaran izin dari level bawah sampai level atas. Pun demikian pula kondisi yang terjadi dibidang-bidang lain dalam sektor kehutanan. Sehingga, saat itu kinerja PNS kehutanan dalam memberikan pelayanan dibidangnya akan sangat ditentukan bagaimana publik memberikan pelayanan kepada birokrasi.
Jangan ditanya pula bagaimana rendahnya motivasi yang dimiliki pegawai dan tingkat disiplinnya. Rendahnya motivasi pegawai dan tingkat disiplinnya sangat jelas terlihat pada pegawai kehutanan yang bekerja di daerah-daerah, karena mereka beranggapan bahwa instansi pusat tidak akan pernah mau repot-repot untuk melakukan pengawasan ataupun inspeksi mendadak karena jauhnya lokasi kerja.
Selain itu buruknya kinerja PNS sektor kehutanan juga disebabkan beberapa faktor, antara lain : tidak adanya reward dan funishment terhadap PNS yang berprestasi dan PNS yang bermasalah serta lemahnya kompetensi PNS yang bersangkutan dibidang kerjanya yang disebabkan oleh rekruitment yang tidak transparan.
Reward dalam bentuk insentif berupa uang maupun bentuk lainnya mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja PNS khususnya sektor kehutanan agar tidak menyimpang dari aturan. Kondisi ini didasarkan bahwa bagaimana mungkin mereka akan menerapkan peraturan-peraturan yang mengatur mengenai eksploitasi hutan dan menjaga kelestarian hutan sementara mereka hidup dalam kondisi yang lemah ekonominya, karena hanya mengandalkan gaji bulanan untuk bertahan hidup. Funishment merupakan bentuk pembinaan yang dilakukan oleh instansi pusat maupun daerah dalam rangka meningkatkan kinerja PNS sektoral kehutanan.
Kompetensi pegawai yang tidak sesuai dengan bidang kerjanya juga merupakan faktor pendorong dari buruknya kinerja PNS sektor kehutanan di masa lalu. Hal ini disebabkan karena proses rekruitmen pegawai yang saat itu masih sangat tergantung dengan dari suku mana menteri yang saat itu menjabat. Sehingga sangat sulit untuk melakukan penempatan pegawai sesuai dengan bidang kompetensinya dan kebutuhan unit kerja.
Menurut Prof. Dr Miftah Thoha (2007), beberapa permasalahan yang mempengaruhi kinerja PNS di Indonesia (secara umum berlaku juga untuk PNS sektor Kehutanan) adalah :
1. Rekrutmen Pegawai
Rekrutmen pegawai khususnya di sektor kehutanan belum sepenuhnya menyerap aspirasi kebutuhan pegawai yang disampaikan oleh Unit-Unit Pelaksana Teknis yang ada di Daerah. Kondisi ini disebabkan kaena belum berjalan optimalnya analisis kebutuhan pegawai yang seharusnya dilaksanakan oleh Biro Kepegawaian Departemen Kehutanan.
2. Promosi dan Mobilisasi
Promosi dan Mobilisasi pegawai merupakan isu pokok dalam manajemen kepegawaian sektor Kehutanan di Indonesia. Memang setiap pegawai negeri sipil khususnya sektor kehutanan telah membuat pernyataan kesediaan untuk ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia, namun sebaiknya promosi dan mobilisasi pegawai perlu juga mempertimbangkan aspek-aspek non teknis seperti kondisi keluarga, masa kerja dan lain sebagainya.
3. Eselonisasi
Seyogyanya promosi seorang pejabat untuk memamngku jabatan dalam eselon mempertimbangkan kompetensi dan klasifikasi yang dimiliki individu tersebut. Namun kondisi yang terjadi adalah eselonisasi di sektor Kehutanan lebih mempertimbangkan tingkat senioritas dan faktor-faktor lain yang tidak bisa disebutkan di sini.
4. Disipilin
Rendahnya tingkat disiplin pegawai khususnya di unit pelaksana tekns yang ada di daerah menunjukkan lemahnya pengawasan internal yang dilakukan oleh instansi level bawah sampai level atas. PNS Kehutanan di tingkat bawah (daerah) seringkali beranggapan bahwa mereka tidak akan terlalu di awasi, mengingat sangat besarnya jumlah PNS dan luasnya wilayah kerja.
5. Renumerasi
Untuk menjaga motivasi dan kinerja PNS khususnya sektor kehutanan maka perhitungan kembali jumlah renumerasi yang diterima sangat penting di lakukan. Mengingat bahwa sektor kehutanan telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi pendapatan asli di daerah dan nasional.
6. Pendidikan dan Pelatihan
Untuk meningkatkan tingkat kompetensi dan keterampilan PNS sektor kehutanan khususnya di daerah, maka pendidikan dan pelatihan teknis sangat di butuhkan. Tingginya perhatian dunia terhadap kelestarian hutan tropis di Indonesia dapat dijadikan odal untuk melakukan kerjasama dalam bidang alih teknologi dan pendidikan serta pelatihan yang melibatkan NGO nasional dan internasional.
7. Kesejahteraan Pegawai
Besarnya perbedaan (gap) sistem penggajian sektor PNS dan swasta harus di kurangi. Dengan meningkatnya kesejahteraan pegawai diharapkan dapat meningkatkan motivasi pegawai untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sehari-hari
8. Pensiun
Adanya jaminan di hari tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsentrasi PNS untuk bekerja, sehingga tidak perlu lagi memikirkan jaminan hidup di hari tua.
Dalam upaya untuk meningkatkan kinerja PNS sektor kehutanan, dan sejalan dengan cita-cita reformasi birokrasi di sektor kehutanan, maka Departemen Kehutanan telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja PNS khususnya sektor kehutanan.
Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Departemen Kehutanan adalah :
1. Peningkatan kompetensi dan keterampilan PNS Kehutanan dengan memberikan mengintensifkan program pendidikan dan pelatihan dibidang kehutanan.
2. Penegakan sanksi hukum yang tegas terhadap oknum aparat kehutanan yang terbukti melanggar peraturan khususnya dalam kasus-kasus illegal loging
3. Pemberian penghargaan terhadap PNS yang berprestasi
4. Melakukan rekruitmen pegawai yang bersih dan transparan, yang sesuai dengan kompetensi dan klasifikasi yang dibutuhkan
5. Meningkatkan penagawasan melalui manajemen kepegawaian sampai ke tingkat daerah
Semangat reformasi birokrasi kehutanan sangat ok. Namun, semestinya juga dilakukan monitoring dan pembinaan, sosialisasi di setiap UPT, apa dan kenapa diperlukan kebijakan tsb, dan bila tidak melaksanakan apa sangsinya? Kita harus sadar masih banyak tenaga senior yang belum siap untuk masuk pada era reformasi, dg demkian bagaimana menyiapkanya. contoh sederhana kondisi saat ini, dikatakan sebagai era fungsionalisasi, bila kosisten tentu pekerjaan teknis banyak dilaksanakan oleh jabatan tersebt, namun mungkinkah saat ini bisa dijalankan, apabila kebanyakan tenaga UPT justru non fungsional bahkan sebagai pelaksana kegiatan teknis...bumerang ini mesti dicarikan jalan keluarnya, agar Dep. Hut siap reformasi dengan tenaga yang ok juga. Sukses Rimbawan/Forester Indonesia.
BalasHapus