Kamis, 30 Juli 2009

7 Langkah Mencegah Serangan Hama dan Penyakit di Persemaian

1. Menjaga Kebersihan di lingkungan persemaian, meliputi drainase agar air tidak tergenang. Air yang tergenang akan mempermudah tumbuhnya jamur akar. Selain itu juga diperlukan menjaga kebersihan gulma (jenis tumbuhan penganggu) yang dapat menjadi tempat perlindungan serangga (inang)

2. Hindari pemasangan lampu di areal sekitar persemaian, sebab dengan keberadaan lampu di malam hari secara otomatis akan mngundang serangga untuk kawin, bertelur dan menetas dalam bentuk ulat yang akhirnya generasi serangga akan memangsa tanaman baik berupa bagian daun maupun bagian batang

3. Hindari membuat kulit buah-buahan di areal persemaian, karena akan menjadi tempat berkumpulnya serangga

4. Pengamatan terhadap jenis hama yang menyerang biasanya aktif pada sore hari sampai pagi hari. Pada sore hari yaitu sekitar pukul 17.30 setelah suasana sejuk dan biasanya setelah petugas pulang bekerja sampai jam 6.30 pagi, saat petugas bersiap datang. Suasana yang dirasa tidak aman oleh hama biasanya pada saat matahari terbit

5. Pemberantasan tahap awal dilakukan jika hama yang menyerap masih relative sedikit, yaitu cukup ditangkap lalu di bunuh atau dibakar, tetapi jika sudah mengelompok atau menyebar, gunakan insektisida sesuai dengan jenis hama yang dimaksud

6. Penyakit tanaman sering dijumpai pada daun yang ditandai dengan warna daun berwarna kuning, sebagian mongering dan layu. Apabila batang mongering secara perlahan diindikasikan oleh jamur yang menyerang akar, namun ada juga yang terkena cacar daun, cara penanganan dilakukan dengan cara menyemprotkan insektisida yang sesuai untuk penyakit yang diindikasikan, namun jika tanaman telah menunjukkan kondisi yang parah, maka hal yang sebaiknya dilakukan yaitu dengan memusnahkan atau membakar tanaman tersebut.

7. Pencegahan hama dan penyakit sebenarnya bisa dilakukan sedini mungkin atau lebih awal yaitu hindari sesuatu yang merangsang serangga datang.

IMPACT EVALUATION OF BENIH UNTUK RAKYAT PROGRAM (SEED FOR PEOPLE) IN THE KOTA LEKAT VILLAGE, KERKAP SUBDISTRICT, NORTH BENGKULU DISTRICT

Abstract

The high rate increase in the critical area of
Indonesia cause the forest and land rehabilitation efforts must be improved. One way that was increasing in rehabilitation effort is engage the community around
he forest in any rehabilitation efforts. The Benih untuk Rakyat Program (Seed for People) intent on the incidence of strengthening communities in the provision of quality seeds and seedlings, increase the quality and quantity of forest plants, improve the community welfare and support the forest and land rehabilitation programs. 

This study aims to determine the extent of the goals of the Program Benih untuk Rakyat achievements. In this research, the primary data obtained through direct interviews with the informants and direct observation in the field, while the secondary data obtained from searches of relevant documents. 

Results of research show that the goals of Benih untuk Rakyat Program only achieve on short term impacts level (outputs), while the medium term impacts (effects) and long term impacts (impacts) have not been reached. Factors that influence the goals failure to reach the expected impacts are support of resource program that is available does not balance with the goal be achieved, where the support resources in the program only for one year, while the goal be achieved is a long-term impact that can not be achieved in one year. In addition, the rules of program also need to set the pattern of the relationship between central government (BPTH Sumatera) and the local government (Forestry and Plantation Office of North Bengkulu District) in its sustainable development. 

Selasa, 16 Juni 2009

Seed

What is seed? seed is all parts of plant that use to step up the plant. It means seed include stone (generative), crotch, leave, root etc. (vegetative). Why seed is very important?? because quality of seed determines quality of forest.

Quality of seed consists of three parts of quality. First, physical quality, this quality determined by totality of seed that can see by eye. Second, psychological quality, this quality determined by level of seed maturity. Third, genetic quality, it related to charateristic of seed that endowed from its mother.

The conclusion, by use the good seed in planting program means improve the forest quality. 

Kamis, 28 Mei 2009

Konsep meningkatkan kualitas dan hasil tanaman hutan rakyat

Tujuan pembangunan hutan dan kehutanan pada prinsipnya mencakup kegiatan peningkatan kualitas dan kuantitas hutan dan terselenggaranya sistem pengelolaan hutan berdasarkan azas manfaat, adil dan lestari. Dengan tercapainya tujuan pembangunan hutan dan kehutanan tersebut diharapkan akan dapat mengembalikan fungsi hutan sebagai anugerah yang tak ternilai harganya. 

Salah satu faktor penentu keberhasilan kegiatan pembangunan hutan adalah keberhasilan dalam kegiatan penanaman berupa reboisasi, penghijauan maupun kegiatan penanaman lainnya. Selanjutnya faktor yang menentukan keberhasilan kegiatan penanaman adalah ketersediaan bibit berkualitas, dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu dibutuhkan, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kualitas hutan yang akan datang. 

Kegagalan penyediaan bibit berkualitas ini seringkali disebabkan oleh gagalnya kegiatan penyediaan benih dalam jumlah yang cukup, bermutu tinggi dan tepat waktu. Untuk mengatasinya maka tentu diperlukan sumber daya manusia dibidang perbenihan yang memiliki kemampuan dalam hal penanganan benih dan sarana prasarana pembuatan bibit yang memadai.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya menyadari tentang arti pentingnya penggunaan benih dan bibit berkualitas dalam setiap kegiatan penanaman, sehingga akhirnya disamping produktifitas hasil hutan tanaman menjadi rendah. Masyarakat seringkali masih terkungkung dalam paradigma bahwa dalam membangun hutan (penanaman) tidak perlu memperhatikan kualitas tanaman yang dihasilkan nantinya, sehingga prinsip “asal hijau” masih diterapkan (Balai Perbenihan Tanaman Hutan Denpasar, 2000).

Melalui program Benih Untuk Rakyat, masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kemampuan teknisnya dalam memproduksi benih dan bibit bermutu dengan mengoptimalkan sarana persemaian yang telah difasilitasi oleh pemerintah. Diharapkan, melalui fasilitas persemaian tersebut masyarakat mampu memenuhi kebutuhan benih dan bibit tanaman hutan bermutu dalam jumlah yang cukup dan tersedia tepat waktu untuk memenuhi kebutuhan benih dan bibit untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat.

Rabu, 20 Mei 2009

Kode Etik Rimbawan

Rimbawan adalah seseorang yang mempunyai pendidikan kehutanan dan atau pengalaman di bidang kehutanan dan terikat oleh norma-norma sebagai berikut:

1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Menempatkan hutan alam sebagai bagian dari upaya mewujudkan martabat dan integritas bangsa di tengah bangsa-bangsa lain sepanjang jaman.

3. Menghargai dan melindungi nilai-nilai kemajemukan sumberdaya hutan dan sosial budaya setempat.

4. Bersikap obyektif dalam melaksanakan segenap aspek kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial hutan secara seimbang dimanapun dan kapanpun bekerja dan berdarma bakti.

5. Menguasai, meningkatkan, mengembangkan, mengamalkan ilmu dan teknologi berwawasan lingkungan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan.

6. Menjadi pelopor dalam setiap upaya pendidikan dan penyelematan lingkungan dimanapun dan kapanpun rimbawan berada.

7. Berprilaku jujur, bersahaja, terbuka, komunikatif, bertanggung gugat, demokratis, adil, ikhlas dan mampu bekerjasama dengan semua pihak sebagai upaya dalam mengemban profesinya.

8. Bersikap tegar, teguh dan konsisten dalam melaksanakan segenap bidang gerak yang diembannya, serta memiliki kepekaan, proaktif, tanggap, dinamis dan adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis yang mempengaruhinya baik di tingkat lokal, nasional, regional, dan global.

9. Mendahulukan kepentingan tugas rimbawan dan kepentingan umum (publik interest) saat ini dan generasi yang akan datang, di atas kepentingan-kepentingan lain.

10. Menjunjung tinggi dan memelihara jiwa korsa rimbawan.
 

Cangkuang - Sukabumi, 4 Nopember 1999

Minggu, 17 Mei 2009

Rehabilitasi Hutan Pantai


Daerah pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat. Karena hempasan gelombang dan hembusan angin maka pasir dari pantai membentuk gundukan ke arah darat. Setelah gundukan pasir itu, terdapat tegakan hutan yang dinamakan hutan pantai. 

Hutan pantai merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomi. Secara fisik hutan pantai mampu memecah energi angin air laut sehingga bermanfaat sebagai buffer zone dari bencana alam tsunami maupun fungsi penyangga. Selain itu optimalisasi pemanfaatan lahan pantai dengan vegetasi tanaman tahunan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap pengurangan dampak pemanasan global. 

Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ir. Indriastuti, MM) didampingi Kepala Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo (Ir. Bambang Priyono, Msi), Kepala Bidang Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kebumen dan jajaran KODIM Kabupaten Kebumen pada Jumat 01 Mei 2009 melakukan kunjungan lapangan ke hutan pantai di pesisir pantai selatan Kabupaten Kebumen. Hutan Pantai di wilayah Kabupaten Kebumen dibangun oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kebumen dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo sebagai realisasi kegiatan GERHAN. 

Pada lokasi tersebut ditamam jenis Cemara Laut, Nyamplung dan Ketapang Laut. Pemilihan ketiga jenis tanaman tersebut sudah mempertimbangan kesesuaian persyaratan habitat tumbuh tanaman, nilai estetika, nilai ekonomis dan permintaan masyarakat setempat. Ketiga jenis tanaman tersebut memiliki batang yang kokoh untuk menahan terpaan angin laut, selain itu tanaman Nyamplung dan Ketapang Laut memiliki daun yang relatif tebal dan lebar yang dapat berfungsi menahan/mematahkan angin. 

Keunggulan lain jenis Ketapang Laut dan Cemara Laut memiliki tajuk yang melebar yang dapat menjadi naungan di wilayah sekitarnya sehingga menciptakan iklim mikro yang berbeda sedangkan jenis biji Nyamplung dapat diolah menjadi bahan bakar alternatif (bio fuel) yang dapat mengganti penggunaan bahan bakar solar. 

Secara ekonomi pembuatan hutan pantai akan semakin mendorong pengembangan pariwisata pantai sehingga dapat meningkatkan potensi dan peluang berusaha bagi warga masyarakat sekitar. Selain itu potensi dan peluang berusaha juga didapat dari pengolahan biji Nyamplung menjadi minyak Nyamplung yang ramah lingkungan. Dengan demikian kondisi lingkungan juga dapat terjaga keberlanjutannya. 

Sumber:http://www.dephut.go.id

Kamis, 14 Mei 2009

Model-model Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)

Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”.

Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. 

Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar. Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif top down adalah sebagai berikut : 

1. Van Meter dan Van Horn

Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008), implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah sebagai berikut : 

1. Aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi 
2. Karakteristik agen pelaksana/implementor 
3. Kondisi ekonomi, social dan politik 
4. Kecendrungan (dispotition) pelaksana/implementor

2. George Edward III 

Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai dengan pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan sebagai berikut, yaitu : 

1. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan ? 
2. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan?
Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, Edward III, mengusulkan 4 (empat) variable yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu :
1. Communication (komunikasi) ; komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan, serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan informasi 

2. Resourcess (sumber-sumber) ; sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud adalah : 

a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan kebijakan 
b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi 
c. dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan 
d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan. 

3. Dispotition or Attitude (sikap) ; berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya 

4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) ; suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi. 

3. Mazmanian dan Sabatier 

Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan implementasi sebagai upaya melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka : 

“Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but wich can also take the form of important executives orders or court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a vaiety of ways, ‘structures’ the implementation process”. 

Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga variable, yaitu (Nugroho, 2008) : 
a. Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. 
b. Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indicator kejelasan dan konsistensi tujuan
c. Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi social ekonomi dan teknologi, dukungan public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana

5. Model Grindle 

Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. 

Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut : 
1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan 
2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan 
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Kedudukan pembuat kebijakan 
5. Pelaksana program 
6. Sumber daya yang dikerahkan 

Sementara itu, konteks implementasinya adalah : 

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 
2. Karakteristik lembaga dan penguasa 
3. Kepatuhan dan daya tanggap

Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

Implementasi Kebijakan Bottom Up

Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. 

Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. 

Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu : 
1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya 
2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan. 
4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.

Senin, 04 Mei 2009

Wadah dan Lama Penyimpanan Benih

Wadah Simpan 

Penyimpanan benih merupakan salah satu cara yang dapat menunjang keberhasilan penyediaan benih, mengingat bahwa kebanyakan jenis pohon hutan tidak berbuah sepanjang tahun sehingga perlu dilakukan penyimpanan yang baik agar dapat menjaga kestabilan benih dari segi kuantitas maupun kualitasnya (Widodo, 1991).

Menurut Schmidt (2000), tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk menjamin persediaan benih yang bermutu bagi suatu program penanaman bila diperlukan. Jika waktu penyemaian dilaksanakan segera setelah pengumpulan benih maka benih dapat langsung digunakan di persemian sehingga penyimpanan tidak diperlukan. Akan tetapi kasus semacam ini sangat jarang terjadi, hal ini disebabkan karena pada daerah dengan iklim musim yang memiliki musim penanaman pendek sangat tidak memungkinkan untuk langsung menyemai benih, sehingga benih perlu disimpan untuk menunggu saat yang tepat untuk disemai. 

Kegiatan penyimpanan benih tidak terlepas dari penggunaan wadah simpan. Menurut Siregar (2000), beberapa sifat khusus yang harus diperhatikan dari wadah simpan adalah :

1. Permeabilitas, yaitu kemampuan wadah untuk dapat menahan kelembaban dan gas pada level tertentu
2. Insulasi, yaitu kemampuan wadah untuk mempertahankan suhu
3. Ukuran lubang, yaitu kemampuan wadah untuk bertahan dari serangan serangga dan mikroorganisme yang dapat masuk melalui celah-celah kemasan
4. Kemudahan dalam hal penanganan seperti tidak licin, mudah ditumpuk, mudah dibuka, ditutup, disegel dan mudah dibersihkan.
5. Biaya, harus diperhitungkan dengan nilai nominal dari benih sendiri

Wadah simpan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam yakni wadah yang kedap udara dan wadah yang permeable (Widodo, 1991). Wadah kedap adalah wadah yang tidak memungkinkan lagi terjadi pertukaran udara antara benih yang disimpan dengan lingkungannya, sedangkan wadah permeabel adalah wadah yang masih memungkinkan terjadinya pertukaran udara antara benih dengan lingkungannya. 

Menurut Siregar (2000), contoh dari wadah yang permeabel adalah karung goni, kantong kain, karung nilon, keranjang, kotak kayu, kertas, karton dan papan serat yang tidak dilapisi lilin. Sedangkan wadah yang tidak permeabel adalah kaleng logam, botol dan gelas. 
Justice dan Bass (1979), mengemukakan bahwa penggunaan wadah dan cara simpan benih sangat tergantung pada jenis, jumlah benih, teknik pengepakan, lama penyimpanan, suhu ruang simpan dan kelembaban ruang simpan. 

Lama Penyimpanan

Berapa lama benih dapat disimpan sangat tergantung pada kondisi benih dan lingkungannya sendiri. Beberapa tipe benih tidak mempunyai ketahanan untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama atau sering disebut benih rekalsitran. Sebaliknya benih ortodoks mempunyai daya simpan yang lama dan dalam kondisi penyimpanan yang sesuai dapat membentuk cadangan benih yang besar di tanah (Schmidt, 2000).

Meskipun tipe ortodoks dan rekalsitran relatif jelas perbedaannya, daya tahan benih untuk bertahan pada saat penyimpanan meliputi variasi yang luas, dari yang sangat rekalsitran, intermediate sampai ortodoks (Schmdit, 2000). Pada umumnya semakin lama benih disimpan maka viabilitasnya akan semakin menurun. Mundurnya viabilitas benih merupakan proses yang berjalan bertingkat dan kumulatif akibat perubahan yang diberikan kepada benih (Widodo, 1991). 

Stubsgaard (1992) dalam Siregar (2000), mengemukakan bahwa periode penyimpanan terdiri dari penyimpanan jangka panjang, penyimpanan jangka menengah dan penyimpanan jangka pendek. Penyimpanan jangka panjang memiliki kisaran waktu puluhan tahun, sedangkan penyimpanan jangka menengah memiliki kisaran waktu beberapa tahun dan penyimpanan jangka pendek memiliki kisaran waktu kurang dari satu tahun. Tidak ada kisaran pasti dalam periode penyimpanan, hal ini disebabkan karena periode penyimpanan sangat tergantung dari jenis tanaman dan tipe benih itu sendiri. 

LITERATUR 

Justice and Bass. 1979. Prinsiples and Praktices of Seed Storage. Castle House Publications LTD

Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta

  
Siregar, S.T. 2000. Penyimpanan Benih (Pengemasan dan Penyimpanan Benih). Balai Perbenihan Tanaman Hutan Palembang. Palembang  

Widodo, W. 1991. Pemilihan Wadah Simpan dan Bahan Pencampur pada Penyimpanan Benih Mahoni. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor

Mahoni (Swietenia macrophylla King)

1. Sistematika, Botani dan Lukisan Pohon

Menurut King dalam Martawijaya et.al (1989), mahoni (Swietenia macrophylla King) diklasifikasikan sebagai berikut : 

Divisio         : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae 
Kelas           : Dicotyledoneae
Ordo            : Meliales 
Famili          : Meliaceae 
Genus          : Swietenia
Species       : Swietenia macrophylla King

Mahoni termasuk pohon besar dengan tinggi pohon mencapai 35-40 m dan diameter mencapai 125 cm. Batang lurus berbentuk silindris dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna coklat kehitaman, beralur dangkal seperti sisik (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). Kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi coklat tua, beralur dan mengelupas setelah tua (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).

Tajuk pohon berbentuk kubah, daun berwarna hijau gelap, rapat dan menggugurkan daun. Setelah daun gugur akan segera muncul tunas-tunas muda berwarna hijau muda. Kedudukan daun bersilangan pada ranting dengan ukuran daun lebih besar dibanding Swietenia mahagony (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). 

Mahoni berbuah pada umur 10-15 tahun, buah masak pada periode April – Juli. Buah mahoni cukup keras dengan panjang 5-15 cm, diameter 3-6 cm, umumnya memiliki 5 ruang berbentuk kapsul dan merekah pada saat masak. Buah merekah mulai dari pangkal buah dan terdapat 5 kolom lancip memanjang hingga ujungnya, dimana pada bagian ini sayap dan benih saling menempel (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).  

Benih berwarna coklat bersayap yang panjangnya 4-5 cm, kotiledone berada pada dua pertiga panjang sisi benih. Benih tersebar dengan bantuan angin dan setiap buah terdiri dari 35-45 butir benih (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).

Benih tanpa sayap dapat langsung ditabur tanpa perlakuan pendahuluan di atas pasir yang telah disterilkan dengan atau tanpa naungan. Benih ditabur dengan bagian biji yang tebal disebelah bawah dan bagian potongan sayap disebelah atas media sedalam 4 cm. Benih berkecambah 14 hari setelah penaburan dan siap disapih 7 hari setelah berkecambah (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000).

2. Penyebaran dan Tempat Tumbuh

Mahoni adalah jenis yang tumbuh pada zona lembab, sifat ekologis yang sangat penting pada jenis ini adalah kemampuan tumbuh di daerah yang kering sehingga sangat baik untuk digunakan pada kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).

Tanaman mahoni dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang sarang dengan ketinggian 0 - 1.500 m dpl, temperatur tahunan 11-36 ºC dan curah hujan tahunan 1.524 –5.085 mm (Balai Produksi dan Pengujian Benih, 1986). Menurut Ardikoesoema dan Dilmy (1956) dalam Kartiko (1998), tanaman mahoni memperlihatkan pertumbuhan yang baik pada tanah-tanah yang paling kurus sekalipun.

3. Pemanfaatan 

Secara komersial jenis ini tidak berarti apabila dalam jumlah yang kecil, dan akan berpotensi apabila ditanam dalam jumlah skala yang besar, terutama di daerah kering yang akan menghasilkan kayu dengan kualitas yang baik. Jenis ini juga sering digunakan pada kegiatan agroforestry untuk meningkatkan kualitas tanah dan sebagai tanaman turus jalan.  

Menurut Martawijaya et al (1989), kayu mahoni memiliki kelas kuat II dan kelas awet II-III. Kayu mahoni dapat digunakan untuk kayu perkakas dan bahan bangunan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Selain kayu, biji mahoni dikenal dapat digunakan sebagai obat penyembuh sakit gula (Kartiko, 1998).

LITERATUR

Balai Produksi dan Pengujian Benih. 1986. Petunjuk Teknis dan Pengujian Mutu Benih Mahoni (Swietenia macrophylla King). Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Palembang

Balai Perbenihan Tanaman Hutan Palembang . 2000. Diskripsi Jenis Tanaman Hutan Sumatera. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Palembang

Kartiko, H.D.P. 1998. Penyimpanan dan Perkecambahan Benih Mahoni. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor.

Martawijaya, A., I.K.Sujana., Y.I. Mandang, S. Amang., P.K. Kadir., 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor



Minggu, 03 Mei 2009

Sabtu, 02 Mei 2009

MARS SERUAN RIMBA

Hai perwira, Rimba raya Mari kita bernyanyi
Memuji hutan rimba dengan lagu yang gembira
Dan nyanyian yang murni
Meski sepi hidup kita
Jauh ditengah rimba
Tapi kita gembira sebabnya kita bekerja untuk nusa dan bangsa

Rimba raya rimba raya |
Indah permai dan mulia | 2 x
Maha taman tempat kita bekerja |

Rimba raya maha indah
Cantik, molek, perkasa
Penghibur hati susah penyokong nusa dan bangsa
Rimba raya selalu
Disitulah kita bekerja disinar matahari
Gunung lembah berduri haruslah kita lalui dengan hati yang murni

Rimba raya rimba raya |
Indah permai dan mulia | 2 x
Maha taman tempat kita bekerja |

Pagi petang, siang malam
Rimba raya berseru
Bersatulah bersatulah, tinggi rendah jadi satu
Pertolongan selalu
Jauhkanlah sikap kamu yang mementingkan diri
Ingatlah Nusa dan Bangsa minta supaya dibela oleh kamu semua

Rimba raya rimba raya |
Indah permai dan mulia | 2 x
Maha taman tempat kita bekerja |

Diulang berkali2 sampai pingsan ya ….

Kamis, 30 April 2009

PROGRAM SEED FOR PEOPLE (PENYEDIAAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MASYARAKAT) SEBAGAI PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN OLEH DEPARTEMEN KEHUTANAN


A. Pendahuluan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati dan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No.41 Tentang Kehutanan. 1999). Hutan juga merupakan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa yang tak ternilai harganya. Hal ini disebabkan karena hutan selain memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, juga ternyata memiliki nilai ekologis yang tak kalah penting dibutuhkan oleh mahluk hidup di muka bumi.

Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.

Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan.

Selain itu, Indonesia juga akan kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sementara itu, hutan Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, menunjukkan semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia, dan sebagian masyarakat miskin di Indonesia hidup berdampingan dengan hutan.

Semakin menurunnya fungsi hutan, baik secara ekologis maupun ekonomis, ditenggarai disebabkan oleh berbagai faktor. Diantara faktor-faktor yang dominan menyumbang dampak terhadap menurunnya fungsi hutan adalah pembalakan liar (ilegal logging), pengusahaan kawasan hutan yang tidak berazazkan kelestarian, alih fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan, kebakaran hutan, bencana alam dan faktor kemiskinan yang melanda masyarakat sekitar hutan. 

Kondisi di atas, menuntut pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, untuk melakukan upaya-upaya yang dapat mengurangi laju degradasi hutan baik yang disebabkan oleh faktor manusia maupun yang disebabkan oleh faktor alam. 
Untuk mengurangi laju degradasi hutan tersebut, Departemen Kehutanan telah melakukan berbagai tindakan, diantaranya dengan penegakan hukum terhadap para pelaku perusak hutan, meskipun belum optimal, dan tindakan-tindakan langsung terhadap kawasan hutan yang masih ada. Tindakan langsung tersebut dilaksanakan untuk mengimbangi peningkatan laju degradasi hutan dengan cara melakukan penyelematan ekosistem hutan yang masih layak untuk dapat ditetapkan dan dikelola menjadi kawasan lindung. 

Salah satu faktor, yang memiliki potensi yang sangat besar baik terhadap penyumbang kerusakan hutan sekaligus juga merupakan faktor penting dalam mensukseskan kegiatan rehabilitasi dan konservasi hutan adalah kondisi kemiskinan yang mendominasi pada masyarakat sekitar hutan. Pemerintah seringkali memfokuskan kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan hutan hanya semata pada kawasan hutan yang bersangkutan, sementara masyarakat yang tinggal di sekitar hutan seringkali diabaikan. Kondisi ini diperparah, karena pada umumnya tingkat perekonomian masyarakat sekitar hutan berada pada tingkat keluarga pra sejahtera dan menggantungkan kebutuhan hidupnya melalui kegiatan bertani/berkebun dengan cara mengubah fungsi kawasan hutan menjadi lahan pertanian/perkebunan. 

Bercermin dari kondisi di atas, maka saat ini, Departemen Kehutanan telah melakukan upaya-upaya yang sangat signifikan dalam memberdayakan masyarakat sekitar hutan untuk turut terlibat langsung dalam setiap kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan hutan sekaligus juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar hutan. Salah satu programnya adalah program penyediaan benih dan bibit untuk masyarakat (Seed for People) yang dicanangkan oleh Menteri Kehutanan di Lumajang, Jawa Timur, tanggal 10 September 2002 dengan tema Hutanku Masa Depanku.

B. Konsep Kemiskinan 

Kemiskinan Versi PBS

Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan. Komoditas pangan terpilih terdiri dari 52 macam, sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa. Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari tahun ketahun mengalami perubahan. Menurut Indonesian Nutrition Network (INN) tahun 2003 adalah Rp 96.956 untuk perkotaan dan Rp 72.780 untuk pedesaan.

Kemudian menteri sosial menyebutkan berdasarkan indikator BPS garis kemiskinan yang diterapkannya adalah keluarga yang memilki penghasilan di bawah Rp 150.000 perbulan. Bahkan Bappenas yang sama mendasarkan pada indikator BPS tahun 2005 batas kemiskinan keluarga adalah yang memiliki penghasilan di bawah Rp 180.000 perbulan.
Dalam penanggulangan masalah kemiskinan melalui program bantuan langsung tunai (BLT) BPS telah menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin, seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (2005), rumah tangga yang memiliki ciri rumah tangga miskin, yaitu:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0, 5 ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

C. Implementasi Program Seed for People

Program Seed for People didasari oleh Surat Menteri Kehutanan No. 973/Menhut-V/2001 tanggal 29 Juni 2001, tentag Seed for People, bertujuan untuk : 1). Meningkatkan kualitas dan hasil tanaman hutan rakyat; 2). Sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 3). Mempercepat proses rehabilitasi lahan, dan; 4). Penguatan kelembagaan masyarakat dalam membangun hutan.

Dalam mencapai tujuannya, Program Seed for People dilaksanakan melalui langkah-langkah strategis sebagai berikut ;
1. Melakukan secara aktif tuntutan untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta jaminan pengembangan usaha hutan rakyat dengan meningkatkan kualitas tegakan di pedesaan.
2. Melakukan gerakan pembangunan hutan tanaman yang berkualitas agar produktivitas dan kualitas hasilnya meningkat sehingga memiliki nilai manfaat dan daya saing pasar yang lebih tinggi.
3. Menempatkan masyarakat sebagai inti dalam kegiatannya sehingga kesejahteraannya meningkat.
4. Sasaran lokasi adalah daerah yang telah, sedang, dan ingin menyelenggarakan pembangunan hutan tanaman dimana masyarakatnya mempunyai keinginan untuk meningkatkan produktivitas serta mutu tanamannya melalui penerapan prinsip-prinsip perbenihan tanaman hutan yang baik.

Inti pelaksanaan kegiatan program Seed for People adalah : 
1. Departemen Kehutanan, melalui UPT dibidang rehabilitasi kawasan hutan berkewajiban 
a. memberikan fasilitas penuh berupa pembangunan persemaian sebanyak 1 (satu) unit, benih dan bibit bermutu, pupuk, 
b. melakukan pembinaan dan bantuan teknis serta alih teknologi bidang perbenihan dan pembibitan tanaman hutan
2. Masyarakat, dalam hal ini anggota kelompok tani, berkewajiban : 
 a. untuk menanam dan memelihara bibit periode pertama yang dihasilkan di persemaian 
b. melakukan pemeliharaan secara berkelanjutan terhadap seluruh sarana prasarana persemaian yang telah diberikan tersebut
c. mengusahakan sarana yang telah diserahkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Pada tahun 2005, Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera, selaku unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, telah melaksanakan program Seed for People dengan kelompok sasaran yaitu kelompok tani Maju Jaya, yang berlokasi di Desa Kota Lekat, Kecamatan Kerkap, Kab. Bengkulu Utara, Prop. Bengkulu. 

Terpilihnya Kelompok Tani Maju Jaya sebagai kelompok sasaran program Seed for People sendiri disebabkan oleh adanya pertimbangan sebagai berikut : 
1. Desa Kota Lekat berbatasan langsung dengan kawasan hutan, dan juga dialiri oleh salah satu sungai besar di Kab. Bengkulu Utara, 
2. Masyarakat Desa Kota Lekat, sebagian besar merupakan petani sawah dan perkebunan, yang dalam kegiatan berkebunnya pada umumnya memanfaatkan secara langsung kawasan hutan sebagai lahan kebun. Sehingga kondisi hutan di sekitar hutan telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kopi dan karet. 
3. Desa Kota Lekat, masih dikategorikan sebagai desa miskin. 


Hasil dari pelaksanaan kegiatan Seed for People tersebut adalah : 
1. Terbentuknya kelembagaan kelompok tani SFP dengan nama Kelompok Tani Maju Jaya 
2. Terbangunnya persemaian semi permanent sebanyak 1 (satu) unit (± 1 hektar) 
3. Tersedianya bibit tanaman hutan dan bibit multi purpose species (MPTS) sebanyak 130.000 batang, yang telah dibagikan ke anggota kelompok tani untuk di tanam di lokasi masing-masing

B. Seed for People sebagai Program Pengentasan Kemiskinan

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui Kelompok Tani Maju Jaya, maka program Seed for people ini sendiri memiliki sasaran jangka pendek dan jangka panjang. 

a. Jangka Pendek 

Setelah seluruh sarana prasarana persemaian SFP di serah terimakan ke kelompok tani, seluruh fasilitas persemaian tersebut menjadi aset yang sangat berguna bagi kelompok tani. Diharapkan kelompok tani dapat mengoptimalkan produksi bibit dari persemaian tersebut untuk dijual ke pada para pengguna bibit tanaman hutan. 

Sebagai asumsi perhitungan, modal yang dikeluarkan kelompok tani untuk memproduksi bibit sebanyak 130.000 batang, adalah sebesar Rp.14.300.000,- dengan rincian : 
- pengadaan polybag (15 kg x 20.000) = Rp. 300.000,-
- pengadaan benih = Rp. 1.000.000,-
- pengadaan pupuk dan obat-obatan = Rp. 2.000.000,-
- pengadaan media = Rp. 2.000.000,-
- upah pemeliharaan (5 bulan) = Rp. 4.000.000,-
- upah angkut = Rp. 5.000.000,-

Bila diasumsikan bahwa bibit yang terjual dalam satu kali periode produksi (1 tahun) sebanyak 100.000 batang, dengan harga rata-rata Rp. 1.000,-/btg, maka didapat hasil Rp. 100.000 x Rp. 1.000 = Rp. 100.000.000,- sehingga selisih antara modal dan pendapatan 100.000.000 -14.300.000 = Rp. 85.700.000,-/tahun. 

b. Jangka Panjang

Sasaran jangka panjang program SFP dalam rangka menanggulangi kemiskinan adalah melalui tambahan penghasilan masyarakat dari bibit yang telah mereka tanam pada awal kegiatan. Bibit yang telah dihasilkan pada tahun pertama kegiatan, terdiri dari bibit kayu-kayuan (mahoni, meranti, damar) dan multi purpose tree species (karet, buah-buahan) dibagikan seluruhnya kepa anggota kelompk tani, dan anggota kelompok tani berkewajiban untuk menanam bibit tersebut di lokasi kebunnya masing-masing. Diharapkan, dalam kurun waktu tertentu bibit tersebut akan tumbuh menjadi tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. 

B. Permasalahan 

Pada tahun 2007, Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera melalukan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program SFP tersebut. Dari hasil monitoring dan evaluasi didapat permasalahan sebagai berikut : 

1. Kelompok tani Seed for People tersebut belum mampu untuk menyediakan modal awal produksi bibit tahap kedua tersebut, mengingat jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi bibit cukup besar, berkisar Rp. 14.300.000,-. 
2. Terbatasnya pangsa pasar untuk memasarkan bibit produksi persemaiannya. Kondisi ini disebabkan karena, pengguna bibit tanaman hutan saat ini masih di dominasi oleh instansi-instansi pemerintah (Pertanian/Perkebunan/Kehutanan) yang bergerak dibidang penanaman melalui kegiatan pengadaan barang dan jasa. Dan untuk dapat mengikuti kegiatan pengadaan barang dan jasa tersebut, maka diperlukan suatu unit usaha yang berbadan hukum. 
3. Fasilitas persemaian yang secara jangka panjang diharapkan sebagai salah satu tambahan penghasilan masyarakat, baru berfungsi untuk memenuhi kebutuhan bibit dalam lingkup internal kelompok tani.  
Sehingga dari permasalahan-permasalahan yang dapat ditangkap dari kegiatan mnonitoring dan evaluasi tersebut adalah bahwa program SFP belum mampu mencapai tujuannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masayarakat desa sekitar hutan. 

C. Rekomendasi

Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, ada beberapa alternatif rekomendasi yang dapat digunakan sebagai pemecahan masalah, yaitu : 

1. Kelompok Tani tersebut berubah bentuk menjadi Koperasi sehingga memiliki badan hukum, dan dapat ikut dalam kegiatan pelelangan pengadaan bibit di instansi pemerintah
2. Kelompok Tani tersebut melakukan merger (bekerjasama) dengan BUMS yang telah terlebih dahulu terdaftar sebagai pengada dan pengedar bibit taaman hutan  
3. Kelompok Tani tersebut tetap dipertahankan, namun berfungsi sebagai penyuplai (sub kontraktor) bagi BUMS yang telah memenangkan lelang pengadaan bibit di instansi pemerintah.
4. Adanya bantuan modal dari pemerintah daerah atau swasta, yang digunakan untuk modal awal produksi bibit tahap ke dua.

Analisis Program Bantuan Lansung Tunai (BLT)

A. Latar Belakang Program Bantuan Langsung Tunai 

Kenaikan harga minyak

Kenaikan harga minyak di pasar dunia telah menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian pada banyak negara termasuk Indonesia. Sekalipun Indonesia merupakan negara yang mempunyai sumber minyak bumi yang cukup berlimpah namun sebagai anggota OPEC menimbulkan konsekuensi terhadap Pemerintah untuk menaikkan harga jual minyak ke luar negeri maupun dalam negeri. Kenaikan harga minyak ini kemudian telah menyebabkan efek domino kenaikan harga-harga terhadap berbagai aspek komoditi dalam negeri yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak dan transportasi. 

Kenaikan harga bahan bakar minyak, transportasi dan barang-barang kebutuhan pokok dirasakan dampaknya oleh semua lapisan masyarakat tetapi tentunya yang paling berat merasakannya adalah kelompok masyarakat ekonomi lemah. Kenaikan harga berbagai kebutuhan yang tidak diantisipasi dengan upaya peningkatan kemampuan daya beli telah menyebabkan masyarakat miskin terancam keberlangsungan hidupnya. Tekanan berat yang paling dirasakan oleh masyarakat miskin utamanya adalah pada tingginya harga bahan bakar untuk kebutuhan memasak sehari-hari, biaya transportasi (ke sekolah, ke kantor) dan harga barang-barang kebutuhan pokok yang semakin mahal.

Dalam rangka menanggulangi dampak kenaikan harga bahan bahar minyak yang dirasakan memberatkan masyarakat miskin maka Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan ini terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) serta bahan kebutuhan pokok berupa gula pasir (putih) dan minyak goreng yang diberikan setiap bulan kepada 19,1 juta keluarga sangat miskin hasil verifikasi data oleh Badan Pusat Statistik.

Kebijakan dan penyaluran bantuan yang direncanakan Pemerintah akan dilaksanakan setelah penetapan dan pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak ini menimbulkan reaksi pro dan kontra dari berbagai lapisan masyarakat. Banyak pihak yang meminta agar Pemerintah tidak meluncurkan bantuan tersebut tetapi menunda penetapan kenaikan harga bahan bakar minyak. Pihak lain menyatakan bahwa sebaiknya Pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk program-program padat karya. Tidak sedikit pula pihak yang menyatakan bahwa bantuan langsung tunai (BLT) merupakan upaya ‘suap politik’ yang dilakukan oleh Pemerintah yang sedang berkuasa untuk meredam gejolak sosial masyarakat sekaligus menyiapkan jalan menuju suksesi pada tahun 2009.  

Pemerintah dalam menghadapi berbagai reaksi tersebut nampaknya telah membulatkan niat untuk tetap menaikkan harga bahan bakar minyak dan menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT). Berbagai persiapan telah dilakukan untuk pencairan dana dan penyalurannya kepada masyarakat sebagaimana telah disampaikan oleh Menteri Sosial dan para Menteri terkait kepada publik melalui media masa dan berbagai forum.  

Kemiskinan

Krisis multi dimensional yang berawal pada tahun 1997, disusul dengan carut marutnya perekonomian Indonesia pasca runtuhnya rezim orde baru telah menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia jatuh dalam lingkaran kemiskinan. Kelompok-kelompok masyarakat ekonomi lemah bahkan terpuruk di bawah garis kemiskinan yang kronis. Penduduk miskin yang semula berjumlah 34,91 juta (BPS, 1999) meningkat menjadi 47,97 juta. Situasi dan kondisi perekonomian Indonesia belum pulih ketika tahun 2001 harga minyak bumi di pasaran dunia mulai mengalami kenaikan secara bertahap. Pada saat itu Pemerintah mulai mengurangi subsidi bahan bakar minyak untuk masyarakat dan memberikan kompensasi dalam bentuk Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi BBM (PPDPBBM) pada 11 sektor termasuk bidang Kesejahteraan Sosial.  

Berbagai program di bidang perekonomian, kesejahteraan sosial dan berbagai bidang lainnya termasuk Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi BBM ini dipandang cukup membantu dalam menstabilkan kondisi perekonomian masyarakat. Hal ini terbukti dari jumlah penduduk miskin yang semula 47,97 juta turun menjadi 38,40 juta (BPS, 2002).

Pada tahun 2005, harga minyak bumi di pasar dunia kembali mengalami kenaikan. Hal ini membawa konsekuensi bagi Pemerintah Indonesia untuk menyetarakan harga jual minyak di pasaran dunia dan dalam negeri. Kenaikan harga bahan bakar di dalam negeri lebih disebabkan kepada kebijakan Pemerintah yang lagi-lagi mengurangi subsidi untuk penyediaan bahan bakar bagi masyarakat. Potensi gejolak sosial yang terjadi pada saat itu dapat dikendalikan dengan kebijakan dan kompensasi yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat, yaitu bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp. 100.000,-bulan (Seratus Ribu Rupiah per bulan) kepada 19,1 juta keluarga miskin selama 1 tahun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penetapan data penerima bantuan BLT dan proses penyalurannya justru menimbulkan berbagai konflik di antara Pemerintah dan Masyarakat maupun di antara Masyarakat itu sendiri walaupun dalam skala yang relatif kecil.

Pada pertengahan tahun 2007 dan memasuki tahun 2008, harga minyak di pasaran dunia kembali melambung hingga mencapai US $ 130 per barrel. Pemerintah kembali dihadapkan pada situasi dan kondisi yang dilematis. Pengurangan dan bahkan pengurangan subsidi bahan bakar minyak untuk masyarakat dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk mengurangi beban negara dan menghemat devisa. Di sisi lain, pengurangan subsidi tersebut akan menyebabkan kenaikan harga bahan bakar dalam negeri yang kemudian berdampak terhadap kenaikan biaya transportasi, harga bahan-bahan kebutuhan pokok dan berbagai komoditi lainnya.

Masyarakat miskin (rumah tangga) adalah kelompok yang paling merasakan beban berat akibat kenaikan bahan bakar minyak. Meningkatnya biaya untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan atau kemampuan daya beli menyebabkan masyarakat semakin terpuruk dalam kondisi yang miskin dan menjerat. Kerentanan terhadap gejolak ekonomi dan rendahnya kemampuan daya beli masyarakat merupakan permasalahan yang sudah terjadi sejak lama di Indonesia dan semakin berlarut-larut dengan adanya kenaikan harga BBM. Ini terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
1. Masyarakat kurang disiapkan sejak awal untuk menggunakan energi secara hemat dan tidak diarahkan untuk menggunakan sumber energi alternatif.
2. Subsidi terhadap bahan bakar minyak yang disediakan oleh Pemerintah selama ini cenderung menyebabkan masyarakat menjadi ketergantungan dan tidak menyadari bahwa pengurangan atau penghentian subsidi tersebut akan menyebabkan peningkatan harga yang sangat signifikan.
3. Kebijakan Pemerintah di bidang perekonomian yang selalu berpihak pada kelompok pemilik modal dan lemahnya kinerja jajaran birokrasi dalam mengawasi kompetisi dunia usaha sehingga seringkali kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok di pasar dalam negeri meningkat secara signifikan dan tidak seimbang terhadap kenaikan bahan bakar minyak yang terjadi. Hal ini menyebabkan (life cost) yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin tinggi.
4. Kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin juga terbukti dari minimnya alokasi anggaran untuk program-program peningkatan kesejahteraan rakyat/kesejahteraan sosial.
5. Sarana dan prasarana pelayanan publik yang sangat terbatas dan tidak diimbangi dengan pemeliharaan yang memadai sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (misalnya sarana transportasi umum).
6. Terbatasnya pelayanan-pelayanan sosial dasar (kesehatan, pendidikan, perumahan dll) yang disediakan oleh Pemerintah. Penyelenggaraan pelayanan sosial dasar ini bahkan cenderung diserahkan kepada pihak swasta sehingga biayanya relatif mahal dan seringkali menimbulkan kompetisi yang tidak sehat di antara pelaku bisnis. 
 
B. Kriteria Penerima Bantuang Langsung Tunai 

Tidak semua lapisan masyarakat kelas bawah dapat serta merta menjadi penerima BLT, adapun kriteria masyarakat miskin yang dapat ditetapkan sebagai penerima BLT adalah (Sumatera Ekspress, 2008) : 

1. Lantai bangunan rumah, kurang dari 8 m2/orang 
2. Jenis lantai terbuat dari tanah/kayu/bamboo 
3. Jenis dinding rumah terbuat dari bamboo, rumbia, kayu berkualitas rendah 
4. Tidak memiliki jamban sendiri 
5. Sumber air minum berasal dari sumur, sungai atau air hujan 
6. Bahan bakar untuk memasak dari kayu bakar, arang dan minyak tanah 
7. Hanya mengkonsumsi daging, susu dan ayam satu minggu sekali 
8. Hanya membeli satu setel pakain dalam setahun 
9. Hanya sanggup makan sebanyak satu atau dua kali setiap hari 
10. Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas atau di poliklinik 
11. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buru tani, nelayan, buruh bangunan atau pekerjaan lainnya dengan upah dibawah Rp. 600.000/bulan 
12. Pendidikan tertinggi kepala keluarga SD 
13. Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual minimal Rp. 500.000, seperti : motor, emas, ternak atau barang lainnya
14. Sumber penerangan bukan dari listrik 

C. Tujuan Program BLT 

Program Bantuan Langsung Tunai ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang menurun sebagai dampak dihapuskannya subsidi BBM. Hal ini juga disebabkan karena berdasarkan analisis subsidi BBM yang diberikan oleh pemerintah sering tidak tepat sasaran, mengingat konsumsi BBM terbesar dilakukan masyarakat kelas menengah ke atas. Sehingga Pemerintah mengalihkan subsidi tersebut dalam bentuk bantuan langsung tunai yang langsung diterima oleh masyarakat miskin yang sudah terdata.

D. Analisis Dampak BLT 

Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti tingkat kemiskinan meningkat 1,78 persen, atau bertambah sebanyak 3,95 juta orang. Selain itu, BPS juga menyatakan, bahwa tanpa program kompensasi atau bantuan langsung tunai (BLT), jumlah penduduk miskin bisa mencapai 50,8 juta orang (23,1 persen). 

Data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya program kompensasi BLT oleh pemerintah maka jumlah keluarga miskin di Indonesia periode 2006 meningkat 1,78 % pada periode 2005. Ini menunkkan bahwa program ini telah berhasil menekan tingkat kemiskinan di Indonesia sebanyak 5,35 %, dibanding bila tidak ada progam BLT yang diperkirakan mencapai 23,1 %. 

Berdasarkan data tersebut juga ditunjukkan bahwa program BLT secara kasar hanya memiliki performa 76,84% dibanding bila tidak ada program BLT. Namun perlu diingat bahwa penambahan angka kemiskinan sebanyak 1,78 % pada tahun 2006 sama dengan bertambahnya jumlah keluarga miskin sebanyak 3,95 juta orang dari seluruh Warga Negara Indonesia. Suatu peningkatan kemiskinan yang sangat menghawatirkan tentunya. 

Dengan tetap bertambahnya kemiskinan, bisa disimpulkan bahwa program BLT tidak efektif untuk meredam kemiskinan seluruhnya. Seberapa efektifkah program BLT? Kalau kita meminjam angka-angka press-release BPS, di mana tingkat kemiskinan akan menjadi 23.1 persen tanpa program BLT, sementara realitanya adalah 17,75 persen, maka secara kasar, efektivitas program BLT hanyalah 76 persen. Subjektif, memang jika kita harus menilai apakah tingkat efektivitas ini baik atau buruk. Tapi yang pasti, jika tujuannya efektif meredam semua dampak kemiskinan, program BLT telah gagal. 

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gagalnya BLT 

1. Proses perumusan kebijakan

Tidak dapat disangsikan lagi bahwa program BLT yang dilaksakanan oleh pemerintah sebagai dampak kompensasi kenaikan BBM dilakukan dengan sangat terburu-buru, hal ini dapat dipahami karena desakan yang sangat kuat terhadap pemerintah untuk sesegera mungkin mengoreksi APBN sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah beralasan bahwa jalan satu-satunya untuk menyelamatkan APBN sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia adalah dengan menaikkan harga BBM.

Sehingga, untuk meredam dampak social yang mungkin timbul sebagai efek naiknya harga BBM di masyarakat maka pemerintah harus segera mengimbangi kebijakan menaikkan harga BBM dengan mengeluarkan kebijakan yang dianggap popular yaitu dengan program Bantuan Langsung Tunai. Pada akhirnya, kebijakan BLT ini dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa melewati rangkaian studi yang mendalam seperti pembahasan kebijakan yang mendalam, uji coba model kebijakan, uji public, debat public sosialisasi dan lain sebagainya. 

Sehingga kita dapat memaklumi mengapa sebuah kebijakan yang dilakukan tanpa persiapan yang mendalam akhirnya tentu saja berdampak tidak optimalnya kebijakan tersebut dalam mencapai tujuannya. 

2. Impelementasi Kebijakan 

Ternyata, tidak hanya pada proses perumusan kebijakannya kebijakan BLT ini bermasalah, pada saat implementasinya ternyata juga banyak mengandung permasalahan mendasar yang makin memperparah buruknya peforma kebijakan ini. 

Salah satu hal yang sangat mencolok pada saat implementasi kebijakan BLT adalah tidak adanya keseragaman data yang dimiliki oleh instansi pemerintah yang terkait dalam pendataan jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Sebut saja data yang dimiliki oleh BPS ternyata tidak sama dengan data yang dimiliki oleh Departemen Sosial, ditambah lagi validitas data yang diragukan keabsahannya. 

Kondisi kesimpang siuran data tersebut diperparah dengan fakta bahwa di lapangan banyak sekali kesalahan dalam menentukan siapa-siapa yang berhak untuk mendapatkan BLT, dimana penentuan penerima BLT lebih banyak bersifat subjektif. Seharusnya berdasarkan kriteria penerima BLT yang telah disampaikan di atas, maka penerima BLT adalah benar-benar warga miskin yang tidak mampu membiayai hidupnya sehari-hari. 

Yang terjadi dilapangan adalah, penerima BLT tidak hanya ditentukan oleh tingkat kemiskinannya, tetapi juga tingkat kedekatannya dengan ketua RT, Kepala Desa atau Lurah setempat. Sehingga wajar, bila ternyata BLT yang seharusnya diterima oleh keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor, justru diterima oleh keluarga yang memiliki sepeda motor dan digunakan untuk membayar angsuran sepeda motor tersebut. Selain itu, perlu juga diingat bahwa di Indonesia dalam satu rumah, biasanya terdiri dari beberapa kepala keluarga, sehingga bila dalam satu rumah seluruh kepala keluarganya mendapat BLT maka dapat dibayangkan besarnya dana yang dibutuhkan oleh pemerintah. 

Adanya perbedaan jumlah data kemiskinan yang dikeluarkan oleh berbagai instansi yang terkait juga memperbesar kemungkinan terjadinya kongkalikong. Sehingga sekali lagi dapat dipahami mengapa kebijakan ini pada akhirnya gagal, karena implementasinya di lapangan tidak tepat sasaran.

3. Pengawasan dan Evaluasi Kebijakan

Idealnya, pengawasan berfungi untuk menjaga dan mengawasi implementasi suatu kebijakan di lapangan, sehingga dengan diadakannya pengawasan diharapkan suatu kebijakan dapat berjalan pada jalurnya. Namun rendahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah (diakibatkan simpang siurnya data kemiskinan yang dimiliki), mengakibatkan program ini menjadi tidak tepat sasaran.  

Evaluasi kebijakan juga seharusnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan apakah suatu kebijakan harus diperbaiki, dirubah atau mungkin dihentikan sama sekali. Namun meskipun secara nyata dari data yang dikeluarkan BPS bahwa kemiskinan tetap bertambah, pemerintah tetap melanjutkan program BLT ini. Hal ini menunjukkan evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kebijakan BLT ini seringkali di abaikan oleh pemerintah sendiri.

E. Rekomendasi 

Terlepas dari itu semua, kita juga tetap harus ingat bahwa BLT itu program yang sifatnya adhoc, atau situasional. Dalam konteks BLT, pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai pemerintah bukanlah mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, namun hanya sebagai “program penenang” terhadap emosi sosial yang mungkin timbul sebagai dampak kenaikan harga BBM. 

Ada benarnya, kalau dikatakan kebijakan BLT itu lebih bersifat politis daripada menyelesaikan akar masalah kemiskinan. Yaitu supaya dukungan ke pemerintah tidak berkurang drastis sebagai dampak dari kebijakan penghapusan subsidi BBM yang tidak populis. 
Namun pemerintah juga harusnya sadar bahwa program BLT ini telah menghabiskan dana APBN yang tidak kecil, sehingga apabila dilanjuttkan maka kerugian Negara yang ditimbulkan juga akan semakin besar. Sehingga sebagai rekomendasi strategis tehadap kebijakan BLT ini, hendaknya pemerintah : 
1. Melakukan verifikasi data kemiskinan yang teraktual dan terjaga validitasnya dengan cara updating data kemiskinan secara kontinyu
2. Meninjau ulang jumlah uang yang disalurkan ke masyarakat miskin, karena dengan uang Rp. 100.000,-/KK tidak berarti banyak terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin
3. Melakukan program BLT hanya dalam enam bulan pasca kenaikan harga BBM, di bulan-bulan berikutnya seharusnya pemerintah telah siap dengan program-program pemberdayaan masyarakat melalui program padat karya dan padat modal secara seimbang.  

ANAK TERLANTAR : GENERASI HARAPAN BANGSA YANG TERLUPAKAN

PENDAHULUAN

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini, perhatian pemerintah dan publik terhadap kehidupan anak-anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan berkembangnya organisasi kemasyarakatan yang bergerak dibidang perlindungan anak sebagai salah satu bukti masih tingginya tingkat perasaan kemanusiaan yang ada di masyarakat. Namun dibalik itu semua ternyata semakin tingginya perhatian yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat ini tidak berdampak berbanding lurus terhadap penurunan jumlah anak terlantar, tingkat kekerasan terhadap anak, perburuhan anak dibawah umur dan lain sebagainya. Kondisi anak-anak Indonesia yang kurang beruntung ini kian hari semakin kurang menggembirakan terutama bila dilihat dari sektor ekonomi dan pendidikan yang didapatnya. 

Kondisi ini disebabkan karena perhatian yang selama ini diberikan hanya sebatas tampilan fisiknya saja. Padahal di balik tampilan fisik itu ada kondisi yang memprihatinkan, bahkan kadang-kadang lebih dahsyat. Hal ini disebabkan oleh makin rumitnya krisis di Indonesia : krisis ekonomi, hukum, moral, dan berbagai krisis lainnya. 

Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).

Konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990, menyatakan, bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka mereka memerlukan perhatian dan perlindungan. 

Anak terlantar sendiri pada umumnya merupakan anak-anak yang berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Ada yang berasal dari keluarga tidak mampu, sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan latar belakang kehidupan jalanan yang akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. Bahkan yang lebih miris lagi adalah ada anak terlantar yang tidak memiliki sama sekali keluarga (hidup sebatang kara). 

Ada anak terlantar yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan tempat tinggal ayahnya karena pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak jalan yang masih tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi masih sering pulang ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya.
Selain itu kegiatan pembangunan yang pesat di perkotaan juga ternyata memberikan efek negatif terhadap kehidupan anak terlantar. Keadaan kota justru mengundang maraknya anak terlantar. Kota yang padat penduduknya dan banyak keluarga bermasalah membuat anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat, dan hidup merdeka, atau bahkan mengakibatkan anak-anak dianiaya batin, fisik, dan seksual oleh keluarga, teman, orang lain lebih dewasa. 
Anak terlantar, pada hakikatnya, adalah "anak-anak", sama dengan anak-anak lainnya yang bukan anak terlantar. Mereka membutuhkan pendidikan. Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. 


DISKRIPSI MASALAH 

Masalah paling mendasar yang dialami oleh anak terlantar adalah kecilnya kemungkinan untuk mendapatkan kesempatan dibidang pendidikan yang layak. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yaitu : 

1. Ketiadaan biaya; sebagian besar anak terlantar berasal dari keluarga dengan strata ekonomi yang sangat rendah, sehingga biaya pendidikan yang seharusnya disediakan oleh keluarga tidak tersedia sama sekali 
2. Keterbatasan waktu; untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sebagian besar anak terlantar bekerja secara serabutan untuk mendapatkan penghasilan, bahkan ada juga yang berusaha untuk mendapatkan penghasilan dari cara-cara yang kurang pantas seperti mengemis, mencuri, mencopet dan lain- lain. Sehingga waktu mereka sehari-hari banyak tersita di tempat pekerjaan, jalanan, tempat-tempat kumuh dan lain-lain. 
3. Rendahnya kemauan untuk belajar; kondisi ini disebabkan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya (teman-teman) yang didominasi oleh anak-anak yang tidak bersekolah (putus sekolah), sehingga menyebabkan adanya perspektif dalam diri anak terlantar bahwa tidak mendapatkan pendidikan yang formal bukanlah suatu hal yang perlu dicemaskan.
4. Apatisme terhadap pendidikan, kemampuan mereka untuk menghasilkan uang dalam waktu yang singkat menyebabkan mereka aptis terhadap pendidikan. Sangat disayangkan sebenarnya, karena tidak selamanya mereka harus ada dijalan untuk mengais rejeki, dan pada saat nanti mereka memutuskan untuk keluar dari lingkungan anak jalanan maka modal pendidikan sangat diperlukan.
5. Tidak berjalannya fungsi control oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah; kondisi ini disebabkan karena masing-masing disibukkan dengan aktifitasnya masing-masing

FAKTA PENDUKUNG

Anak Terlantar di Prop. Sumatera Selatan

Menurut data Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan yang dalam hal ini disampaikan oleh Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Prop. Dr. Mahyuddin, saat bertemu dengan Tim Komisi VIII DPRD-RI di Palembang, di kantor Pemerintah Sumatera Selatan, Jalan Kapten A. Rivai Palembang, anak terlantar di Sumatera Selatan pada tahun 2008 mencapai 5.088 anak. Dijelaskannya pula, dari jumlah itu, baru 4.105 anak terlantar yang dibina oleh 107 panti. Yakni di Palembang mencapai 2.100 anak, Ogan Komering Ilir 340 anak, Banyuasin 325 anak, serta beberapa kabuapten dan kota lainnya rata-rata kurang dari 200 anak. Sedangkan di Pagaralam hanya 30 anak terlantar yang dibina (Wijaya, 2008)

Hingga kini bila kita amati masih terdapat ratusan anak terlantar di Kota Palembang, Sumatera Selatan, yang telantar dan tidak mendapatkan pelayanan pendidikan memadai. Mereka pada umumnya berkeliaran di beberapa tempat mangkal, seperti di Simpang Polda, Simpang Rumah Sakit Charitas, Simpang DPRD, Simpang Jakabaring, atau stasiun kereta api di Kertapati. Sebagian besar mengaku putus atau tidak melanjutkan sekolah karena masalah ekonomi atau tidak cocok dengan sistem pendidikan yang dinilai terlalu mengekang. 

Dijalanan mereka hidup tanpa aturan yang bersifat legalistik, yang ada adalah aturan-aturan yang mereka buat sendiri, sehingga seringkali aturan yang berlaku cenderung menjadi hokum rimba. Dengan kata lain, didalam kehidupan anak terlantar “siapa kuat dia yang berkuasa” merupakan aturan yang harus selalui dipatuhi.  

Anak terlantar yang hidup dijalanan hidup mengandalkan penghasilan mengamen, menjajakan makanan kecil, atau berjualan koran. Mereka rata-rata bekerja dari pagi sampai sore hari dan mendapat penghasilan Rp 15.000 sampai Rp 25.000 per hari. Jika tidak diantisipasi, kondisi ini bisa menurunkan kualitas sumber daya manusia generasi muda pada masa mendatang (Wijaya, 2008)

Dinas Sosial Palembang selaku instansi yang bertanggung jawab menangani masalah anak terlantar khususnya di kota Palembang hanya bisa menampung dan membina sebagian kecil dari anak terlantar. Mereka antara lain dibina di Panti Bina Anak Remaja dan Panti Rehabilitasi Anak Nusantara di Kelurahan Sukabangun, Kecamatan Sukarame, serta di Panti Rehabilitasi Pengemis, Gelandangan, dan Orang Telantar di Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Sako.


Pendidikan : Hak Azazi Warga Negara Indonesia 

Pendidikan merupakan salah satu hak hakiki bagi setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkannya, hal ini tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang di wujudkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional :

1. Pasal 5 Ayat 1 :”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”
2. Pasal 6 ayat 1 :” Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”
3. Pasal 11 ayat 1 :”Pemerintah dan Pemerintah daerah berkewajiban memebrikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga tanpa diskriminasi. Dan menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun
4. Pasal 49 ayat 1: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya kedinasan dialokasikan minimumal 20 % dari APBN atau PABD”
Sehingga pemerintah dalam hal ini dalam lingkup yang lebih kecil yaitu pemerintah Propinsi Sumatera Selatan memiliki tanggung jawab untuk menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. 
Apabila pemenuhan hak hakiki akan kebutuhan pendidikan ini terlupakan oleh pemerintah pusat dan daerah, maka ditakutkan Indonesia akan kehilangan satu generasi emasnya di masa yang akan datang. 

Penganggaran Pendanaan Pendidikan 

Sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003, pada Pasal 49, ayat 1 : “ Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya kedinasan dialokasikan minimumal 20 % dari APBN atau PABD. 

Berdasarkan data yang dihimpun dari harian Sumatera Ekspress (Oktober, 2008) pemerintah propinsi Sumatera Selatan telah menganggarkan dana sebesar Rp. 560 milyar, dimana Rp. 336 milyar diantaranya digunakan untuk kesejahteraan guru, dan Rp. 224 milyar digunakan untuk pembiayaan pendidikan gratis.  
Kondisi di atas menunjukkan bahwa amanat UU No. 20 Tahun 2003, pasa 49, ayat 1 tersebut belum sepenuhnya dapat dijalankan oleh pemerintah, khususnya Propinsi Sumatera Selatan. Hal ini dapat dipahami karena memang sector pendidikan merupakan salah satu sector yang membutuhkan dana yang cukup besar.

ANALISIS MASALAH

Konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

Anak terlantar adalah anak yang berusia 5 – 18 tahun yang karena sebab tertentu (karena beberapa kemungkinan : miskin/tidak mampu, salah seorang dari orang tuanya/wali pengampu sakit, salah seorang/kedua orang tuanya/wali pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu atau pengasuh), sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial (Dinas Sosial DIY, 2006)

Adapun kriteria dari anak terlantar yaitu : a. anak (Laki-laki/perempuan) usia 5-18 tahun; b. anak yatim, piatu, yatim piatu; c. tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya; d. anak yang lahir karena tindak perkosaan, tidak ada yang mengurus dan tidak mendapat pendidikan (Dinas Sosial DIY, 2006)

Berdasarkan kondisi anak terlantar yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan yang dialami oleh anak terlantar dapat dirumuskan sebagai berikut :  
a. Anak terlantar turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena tidak berfungsinya keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Juga disebabkan karena fokus keuangan keluarga terbatas hanya pemenuhan kebutuhan sehari-hari, bukan untuk pendidikan.
b. Rendahnya pendidikan orang tua anak terlantar sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.
c. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Departemen Sosial.
d. Belum optimalnya social control di dalam masyarakat
e. Belum berperannya lembaga-lembaga organisasi sosial, serta belum adanya penanganan yang secara multi sistem base.
f. Lingkungan sosial tempat anak terlantar tinggal tidak mendukung mereka dari sisi mental psikologis untuk masuk ke sekolah formal
g. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap potensi dan kreatifitas dari anak terlantar

Alternatif Solusi Permasalahan

Berdasarkan analisa masalah yang telah disampaikan di atas, maka dapat disampaikan beberapa alternative solusi permasalahan yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut :

a. Penyediaan biaya pendidikan bagi anak jalanan
b. Peningkatan kerjasama keluarga, masyarakat dan pemerintah
c. Penghargaan terhadap prestasi anak jalanan
d. Pembuatan payung hukum yang mengatur hak dan kewajiban anak jalanan
e. Penyusunan system pembelajaran yang efektif untuk anak jalanan
f. Apreasi terhadap prestasi anak jalanan

REKOMENDASI STRATEGIS 

Berdasarkan rumusan permasalahan yang dialami oleh anak terlantar dan alternative solusi permasalahan, maka disini penulis mencoba untuk menyampaikan rekomendasi-rekomendasi yang kiranya dapat membantu dalam memecahkan permasalahan anak terlantar khususnya di Propinsi Sumatera Selatan. 

Bebaskan Biaya Pendidikan bagi Anak Terlantar dan Keluarga Miskin 

Penyebab utama kurangnya kesempatan bagi anak terlantar untuk bersekolah adalah karena sebagian besar dari anak terlantar berasal dari keluarga miskin. Sehingga dampak dari kemiskinan inilah yang memaksa orang tua mereka untuk turut serta memberdayakan anak-anaknya yang sebenarnya masih dalam usia wajib belajar untuk bekerja agar dapat membantu menopang perekonomian keluarga. 

Selain itu kemiskinan juga menyebabkan pola pikir orang tua dan anak hanya berfokus pada menjadi pemenuhan kebutuhan jangka pendek saja (makan dan minum), tanpa memperhatikan betapa pentingnya faktor pendidikan dalam mengarungi kehidupan di masa yang akan datang, terutama kehidupan yang akan dilalui oleh anak-anaknya. 

Bila dikaitkan dengan standard kebutuhan biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh Balitbang Diknas dirata-ratakan, maka kebutuhan pendidikan anak dari sekolah dasar sampai dengan lanjutan atas maka satu orang anak membutuhkan biaya sebesar Rp. 2.532.833,-, yang terdiri dari (1) buku dan alat tulis sekolah, (2) pakaian dan perlengkapan sekolah, (3) akomodasi, (4) transportasi, (5) konsumsi, (6) kesehatan, (7) karyawisata, (8) uang saku, (9) kursus, (10) iuran sekolah, dan (11) foregone earning. Berarti untuk membiayai pendidikan anak terlantar sebanyak 5.088 anak diperlukan biaya hanya sekitar sebesar Rp. 12,9 milyar.  

Perbanyak Akses untuk Mendapatkan Beasiswa

Pada dasarnya beasiswa dapat diberikan karena terpenuhinya seluruh atau salah satu persyaratan sebagai berikut : 

1. Siswa berprestasi dari keluarga mampu (beasiswa prestasi) 
2. Siswa berprestasi dari keluarga tidak mampu (beasiswa prestasi dan kondisi)
3. Siswa berprestasi rata-rata dari keluarga tidak mampu (beasiswa kondisi)

Umumnya kriteria pemberian beasiswa ini ditentukan oleh pihak pemberi beasiswa (pemerintah, sponsor dan swasta) yang harus dipenuhi oleh siswa. Namun yang paling sering dilupakan oleh pihak pemberi beasiswa adalah beasiswa pada kriteria nomor tiga, yaitu pemberian beasiswa bagi siswa dengan prestasi rata-rata namun dari keluarga tidak mampu. 

Hal ini disebabkan karena adanya paradigma pemberi beasiswa yang menganggap bahwa beasiswa diberikan sebagai bentuk penghargaan terhadap prestasi yang telah diraih oleh siswa. Namun perlu juga di ingat bahwa hakekat pemberian beasiswa itu sendiri adalah bertujuan untuk memberikan kesempatan meraih pendidikan yang lebih baik yang merupakan hak azazi seluruh anak Indonesia. Sehingga diharapkan dengan pemberian beasiswa bagi anak-anak terlantar dengan prestasi rata-rata dari keluarga tidak mampu akan meningkatkan kesempatan anak-anak terlantar tersebut untuk melanjutkan pendidikanya ke jenjang yang lebih tinggi. 

Untuk menunjang program tersebut maka kesempatan bagi anak terlantar untuk mendapatkan beasiswa perlu lebih diperbanyak lagi. Disinilah peran pemerintah tidak hanya sebagai pemberi program beasiswa, tetapi juga sebagai fasilitator antara pihak-pihak yang mampu menjadi mpenyandang dana beasiswa dengan anak terlantar yang membutuhkan, karena masih cukup banyak sumber-sumber dana yang dapat digali dalam rangka membiayai program beasiswa bagi anak terlantar seperti Badan Amil Zakat (BAZ), LSM, Yayasan Pendidikan Sosial dan program-program social lainnya dari dalam dan luar negeri. 

Selain itu, juga perlu dipikirkan mengenai bagaimana informasi pemberian beasiswa ini dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat terutama anak terlantar. Mengingat biasanya pemberian beasiswa cenderung sedikit tertutup dan tidak transparan, sehingga seringkali pemberian beasiswa ini disalah gunakan dan tidak tepat sasaran. Disinilah peran pemerintah untuk membantu masyarakat mendapatkan informasi yang seluas-luasnya melalui media televisi, radio, surat kabar dan media-media komunikasi lain yang relative mudah dijangkau oleh masyarakat tentang pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan siswa dari keluarga tidak mampu.

Tingkatkan Peran Serta Masyarakat

Tokoh Agama

Partisipasi tokoh agama sangat berperan dalam pengentasan anak terlantar. Sesungguhnya Islam memiliki konsep pembinaan keluarga. Islam juga mengajarkan betapa besar tanggungjawab orang tua dalam mendidik anak. Maka kalau anak-anak disibukkan dengan pendidikan, mereka diharapkan mereka tidak selalu turun ke jalan.
Tentang pandangan agama (Islam) terhadap perilaku anak terlantar adalah: Bahwa sesungguhnya setiap orang itu mulia, kecuali jika dia telah berperilaku tidak baik. Selama mereka berperilaku baik, tidak mencuri, menodong, maka mereka tetap orang baik di mata agama.

Sedang model yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan keluarga anak terlantar adalah: perlu diperbanyak lembaga-lembaga sosial yang dapat menampung mereka. Kemudian untuk keluarganya perlu diberikan penyuluhan mengenai peningkatan penghasilan (ekonomi keluarga).

Mengenai pelibatan tokoh agama dalam rangka pemberdayaan ekonomi keluarganya adalah bahwa tokoh agama harus ikut mendorong mereka melalui penyuluhan dan pengajian akan pentingnya peningkatan ekonomi keluarga melalui usaha produktif.
Paling tidak harus ada wadah yang dikelola secara profesional dan didukung oleh pendanaan yang cukup. Adapun bentuk wadah itu bisa saja berupa yayasan atau pesantren yang diintegrasikan dengan kegiatan belajar di dalamnya. Hal ini menjadi penting karena anak itu memiliki tugas utama yaitu belajar. Selain itu, si anak dan orang tua harus disadarkan dengan tugas dan kewajibannya masing-masing yaitu, si anak belajar dan orang tua mencari nafkah untuk keluarganya. 

Pertimbangan lainnya adalah, bahwa anak terlantar yang meminta-minta misalnya, sesungguhnya ia telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma agama, bahkan bisa merusak agama itu sendiri, khususnya agama Islam. Padahal, betapa besarnya potensi dana zakat baik zakat mal atau zakat fitrah yang bersumber dari umat Islam sendiri. Kenapa ini tidak dikelola secara baik? Kalau umat Islam mengurus umatnya saja tidak bisa, bagaimana menghadapi dakwah di tengah-tengah orang non muslim? Bersamaan dengan itu, orang-orang yang berkecukupan dari segi materi (kaya) juga harus diingatkan, bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menolong sesama. Sebaliknya para mustahik (melalui amil yang profesional), harus aktif mencari dana zakat tersebut dan dikelola serta diberdayakan sebaik mungkin.

Adapun bentuk pembinaannya haruslah komprehensif dan semua pihak harus terlibat. Pihak pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, pondok pesantren, takmir masjid yang punya akses pada kemasyarakatan semuanya harus aktif, turut mengontrol proses pembinaan serta perkembangan anak terlantar. Selain itu, pembinaan juga bukan saja dari sisi moral, akan tetapi juga harus bersifat jangka panjang. Misalnya, mereka seyogyanya diberi bekal keterampilan agama, ke depan mereka dapat mandiri dan hidup terarah sesuai cita-citanya masing-masing. 

Selain itu, pemerintah seharusnya memiliki data yang konkrit (data base) mengenai anak terlantar ini, sehingga mudah ketika akan melakukan penataan serta penanganan. Jadi intinya, untuk menangani anak terlantar ini perlu organisasi yang kuat dengan menyediakan fasilitas yang memadai, seperti perlengkapan sarana pendidikan, lembaga ekonomi umat, balai latihan kerja dan lain sebagainya. Bahkan jika perlu, libatkan pondok pesantren yang tersebar di setiap daerah, atau mungkin perlu bekerjasama dengan takmir masjid yang banyak sekali jumlahnya di DKI ini, sehingga takmir masjid kemudian tugasnya bukan hanya ritual menyelenggarakan ibadah, tetapi memiliki fungsi pembinaan yang bersifat sosial seperti anak terlantar ini.

Tokoh Akademisi

Dalam pandangan akademisi penanganan anak terlantar baik yang dilakukan pemerintah maupun pemerintah belum memperhatikan akar persoalan sesungguhnya, program-program yang dilakukan bersifat parsial bahkan tumpang tindih, hampir semua Departemen mempunyai program untuk pengentasan anak terlantar tetapi tidak didasari oleh satu jaringan kerjasama yang terkoordinir dengan baik.

Polisi misalnya tidak berani mengambil tindakan pada perilaku anak terlantar karena memandang tidak memiliki dasar hukum yang kuat padahal tugas mereka adalah menjaga ketertiban lalu lintas. Jika ada koordinasi yang baik dengan kepolisian maka dari sisi ketertiban lalu lintas seharusnya di jalan tidak ada bertebaran anak terlantar.
Departemen Sosial sebagai ujung tombak penanganan masalah ini juga tidak memperhatikan faktor-faktor struktural yang menyebabkan anak di jalanan. Secara lebih tegas persoalan struktural itu dapat dilihat pada ketiadaan koordinasi antara pemerintah daerah di perkotaan dengan daerah penyangga. 

Jadi sesungguhnya diperlukan suatu networking diantara semua institusi yang menangani kesejahteraan masyarakat. Pemda DKI dapat saja mengalokasikan anggarannya untuk pembangunan ekonomi penduduk di daerah-daerah penyangga. 


LSM

Anak terlantar harus tetap sekolah dengan cara sekolah di waktu senggang hal ini dilakukan agar anak tersebut tetap mendapat pendidikan yang layak dan memadai walaupun untuk menyadarkan anak-anak untuk sekolah masih sulit tetapi semakin hari semakin bertambah yang berminat untuk sekolah. Tidak kalah beratnya juga untuk menyadarkan orangtua agar anak-anak mereka tetap sekolah dengan berbagai penjelasan sehingga orang tua anak tersebut mendukung anaknya untuk sekolah. Untuk menangani anak terlantar, lembaga tersebut belum ada kerjasama dengan lembaga pemerintahan atau lembaga lainnya, dalam soal dana lembaga tersebut mencari donatur-donatur yang bersedia membantunya.

Panti asuhan

Keberadaan panti asuhan sebagai lembaga sosial, menjadi salah satu jawaban terhadap masalah yang dialami anak terlantar. Di panti asuhan, seorang anak bisa mendapatkan dunianya kembali melalui program-program yang diselenggarakan disana. Bahkan si anak bisa mengakses pendidikan, yang menjadi barang mahal bagi keluarga si anak sebelumnya. Ditambah kekuatan dogma agama dalam menyuruh umatnya untuk beramal, keberadaan panti asuhan yang senantiasa mendapatkan aliran dana dari masyarakat tentu saja akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup si anak tersebut. 

Sayangnya, panti-panti asuhan yang ada tidak semuanya milik pemerintah dengan keterjaminan dana. Hal ini karena jumlah anak yang meminta perhatian, lebih dari kemampuan jangkauan panti-panti asuhan milik pemerintah. Beruntung sekali jika panti asuhan non pemerintah ditangani secara profesional. Parameternya biasanya dalam hal efisiensi dana. Jika pemasukan dana panti asuhan lancar, tentunya pekerjaan berikutnya hanya tinggal bagaimana cara mengefisiensikan dana tersebut. Sementara jika pemasukan dana seret, akan berimbas pada kondisi yang dialami penghuni panti asuhan tersebut. Lagi-lagi karena pemerintah tidak sanggup memberikan solusi, maka permasalahan ini menjadi tanggung jawab masyarakat.

Orangtua Asuh

Sistem orangtua asuh bisa jadi menjadi salah satu jawaban. Bedanya system ini lebih membutuhkan inisiatif pribadi si orangtua asuh. Konsekuensinya pelayanan terhadap anak akan lebih maksimal karena biasanya si orangtua keadaannya lebih mapan. Bahkan kalau dihitung ongkos efisien per orang, angkanya jauh lebih besar daripada di panti asuhan. 

Jika melihat jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak diikuti persentase umat beragama yang besar pula, seharusnya sistem orangtua asuh dengan model apapun bisa menutupi kebutuhan anak terlantar. Ketimpangan kondisi ekonomi penduduk Indonesia sayangnya tidak diikuti oleh pembagian harta yang baik lewat mekanisme sosial. Akibatnya yang kaya tetap kaya tanpa peduli sekelilingnya dan yang miskin tetap miskin sambil hanya bisa berkhayal turunnya uang dari langit.

Siapkan Sistem Pembelajaran

Pendidikan, pada prinsipnya, hendaknya mempertahankan anak yang masih sekolah dan mendorong mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, juga memfasilitasi anak yang tak lagi bersekolah ke program pendidikan luar sekolah yang setara dengan sekolah. Program itu antara lain berupa : Kejar Paket A dan Kejar Paket B yang merupakan program pendidikan setara SD/SLTP dan pelatihan-pelatihan.

Khusus untuk anak terlantar, pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah "rumah singgah" dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu : anak terlantar dilayani di rumah singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM. 
Rumah singgah dan PKBM itu dipadukan dengan-sekaligus menerapkan-pendekatan kelompok dan CBE (Community Based Education, pendidikan berbasis masyarakat) serta strategi pembelajaran partisipatif dan kolaboratif (participative and collaborative learning strategy). 

Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa : Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri.

Materi pembelajarannya mencakup : agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha. 
Prestasi belajar dan keberhasilan program dievaluasi dengan tahapan self-evaluation berikut : (1) penetapan tujuan belajar; (2) perumusan kriteria keberhasilan belajar; (3) pemantauan kegiatan belajar; serta (4) penetapan prestasi belajar dan keberhasilan program. 
Hasil evaluasi itu diungkapkan pada akhir masing-masing kegiatan melalui laporan lisan atau tertulis. Hasil evaluasi kegiatan belajar insidental dilaporkan secara lisan atau ditempel pada papan pengumuman yang terdapat di rumah singgah atau PKBM, sedangkan hasil evaluasi kegiatan belajar berkesinambungan dilaporkan melalui buku raport. Adapun keberhasilan program diungkapkan secara berkala : harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. 

Keseimbangan Belajar-Bermain-Berprestasi

Seperti yang telah diutarakan pada bagian latar belakang di atas, anak terlantar pada hakikatnya adalah sama dengan anak kebanyakan umumnya. Mereka dalam kesehariannya memerlukan berbagai aktifitas yang terdiri dari aktifitas belajar, aktifitas untuk bermain dan aktifitas untuk berprestasi. Pada dasarnya aktifitas ini juga merupakan hak mereka yang paling hakiki yang wajib dipenuhi oleh Negara.

Banyak data yang menyebutkan bahwa salah satu penyebab putusnya sekolah (pendidikan) bagi anak-anak terlantar disebabkan karena sebagian besar anak terlantar tidak terbiasa untuk mengenyam pendidikan secara formal yang sudah terjadwal sedemikian rupa. Hal ini disebabkan karena dalam kesehariannya anak terlantar terbiasa hidup bebas dan jauh dari aturan-aturan yang bersifat mengikat. Sehingga mereka cenderung menolak bila dipaksa untuk bersekolah secara formal dan menjadikan pendidikan formal menjadi tidak tepat bila akan diterapkan bagi anak terlantar khususnya anak yang berada di jalanan.

Untuk itu perlu dicarikan solusi dalam hal pengaturan system belajar mengajar yang tepat bagi anak terlantar. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan antara masing-masing aktifitas ini akan menimbulkan rasa keinginan dan kemauan yang lebih besar bagi anak terlantar untuk mengubah kehidupannya kearah yang lebih baik. 

Menjaga dan Menghargai Kreatifitas Anak

Anak, dalam melakukan aktifitasnya dalam belajar-bermain dan berprestasi juga seringkali secara sadar ataupun tidak sadar melakukan keratifitas yang positif. Kreatifitas ini seringkali dilupakan oleh masyarakat sehingga akhirnya kreatifitas ini menjadi padam dengan sendirinya. 

Dengan menjaga dan menghargai kreatifitas anak terlantar maka diharapkan mereka akan menemukan solusi secara mandiri bagaimana cara untuk mengubah kondisi kehidupannya saat ini menjadi kea rah yang lebih baik lagi. 

Untuk menjaga kreatifitas anak-anak terlantar maka diperlukan suatu wadah baik formal maupun informal yang dapat menampung berbagai kreatifitas mereka. Wadah ini dapat berwujud seperti pagelaran seni dan budaya anak jalanan, pameran produksi anak jalanan dan lain sebagainya. Diharapkan dengan adanya wadah ini akan semakin menumbuh kembangkan kreatifitas anak terlantar untuk hal-hal yang bersifat positif. 

Pemberdayaan Keluarga

Keluarga adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan. Secara umum keluarga memiliki fungsi (a) reproduksi, (b) sosialisasi, (c) edukasi, (d) rekreasi, (e) afeksi, dan (f) proteksi 

Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayan Barat utamanya Eropa. Secara umum pemberdayaan keluarga dipahami sebagai usaha menciptakan gabungan dari aspek kekuasaan distributif maupun generatif sehingga keluarga memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. 

Untuk memberdayakan keluarga dari anak terlantar, tentu memerlukan campur tangan pemerintah yang sangat besar. Pemberdayaan keluarga dapat dilakukan dengan memberikan modal bergulir kepada keluarga tidak mampu, sehingga keluarga tersebut dapat menggunakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah sebagai modal awal dalam menambah penghasilan keluarga. Aktifitas yang dapat dilakukan oleh keluarga tidak mampu dalam memanfaatkan modal bergulir tersebut bisa dalam bentuk berdagang dalam skala kecil, berternak ayam, budi daya ikan dan lain sebagainya. 

Namun yang menjadi permasalahan adalah pengalaman pada masa-masa yang lalu, dimana modal bergulir yang diberikan oleh pemerintah sering kali mandek pada satu keluarga saja (gagal bergulir). Disinilah pemerintah perlu membuat payung hukum yang mengatur hak dan tanggung jawab keluarga penerima bantuan. Sehingga keluarga yang tidak memiliki niat baik untuk menggulirkan modal usaha tersebut akan menerima sanksi yang berat.

Payung Hukum bagi Program Penanganan Anak terlantar

Untuk memberikan payung hukum penanganan anak jalanan perlu diterbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Perda) sebagai implementasi Undang-undang tentang penggelandangan, yang mengatur teknis pelaksanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi penanganan anak jalanan serta tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Dengan adanya PP atau Perda maka diharpkan program peningkatan pendidikan anak terlantar dapat berjalan secara efektif dan efisien, transparan dan akuntabel.


Pemberdayaan Instansi Terkait

Sebenarnya sudah ada instansi terkait yang diserahi tugas dan tanggung jawab untuk menangani permasalahan anak terlantar ini. Namun dalam praktiknya di lapangan penanganan anak terlantar khususnya sektor pendidikan tidak hanya memerlukan program yang efektif dan efisien, tetapi juga memerlukan biaya yang sangat besar. 

Sehingga untuk lebih memberdayakan Departemen Sosial dan Dinas Sosial dalam menangani masalah pendidikan anak terlantar, maka pemerintah perlu memberikan kewenangan yang lebih besar lagi bagi instansi terkait dan alokasi dana yang mencukupi untuk program tersebut.

PENUTUP

Anak terlantar harus dipandang sebagai bukan hanya tanggung jawab Negara, melainkan juga tanggung jawab pihak swasta dan masyarakat umum. Sehingga Negara, swasta dan masyarakat dapat duduk bersama untuk mencarikan solusi terbaik bagi masa depan mereka terutama dalam sektor pendidikan. 

Untuk mengatasi permasalahan pendidikan dari anak terlantar dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 
1. Bebaskan Biaya Pendidikan Bagi Anak Terlantar Dan Keluarga Miskin
2. Perbanyak Akses untuk Mendapatkan Beasiswa
3. Tingkatkan Kerjasama Pemerintah dan Masyarakat
4. Siapkan Sistem Pembelajaran
5. Keseimbangan Belajar-Bermain-Berprestasi
6. Menjaga dan Menghargai Kreatifitas Anak
7. Pemberdayaan keluarga
8. Pemberian Payung Hukum dalam menangani pendidikan anak terlantar
9. Pemberdayaan instansi terkait 


LITERATUR

Balitbang Diknas. 2004. Satuan Biaya Pendidikan. (Dikutip Oleh Media Indonesia) Jakarta

BPS Prop. Sumsel.2007. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SD, SMP dan SMU di Prop. Sumsel. Palembang

Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta. 2006. Definisi dan Kriteria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta. 

Sumatera Express. 2008. Stop Putus Sekolah : Pemrop-Pemkot Anggarkan Pendidikan Gratis. Palembang

Wijaya, T. 2008. Anak Jalanan Sumsel Capai 5.088. Website : Detik News.Com