Menurut Thomas R. Dye (1987) dalam Yousa (2007), secara sederhana mendefinisikan bahwa kebijakan publik sebagai “what ever governments choose to do or not to do”. Dye menyampaikan bahwa kebijakan publik sebagai suatu pilihan yang harus dipilih oleh pemerintah dalam menyelesaikan suatu masalah publik .
“ A publik is a set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actor concerning the selection of selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where thoses decisions should, in principle, be within the power of tjoses actors to achieve”
Jenkins memahami bahwa kebijakan publik sebagai sebuah proses, bukanlah hanya sebagai suatu pilihan seperti yang telah disampaikan oleh Dye. Secara eksplisit dia menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian keputusan yang saling berkaitan. Hal ini disebabkan karena jarang sekali permasalahan publik yang dapat diselesaikan dengan kebijakan yang menghasilkan keputusan tunggal. Seringkali untuk mengatasi suatu masalah publik maka pemerintah membuat kebijakan yang menghasilkan beberapa keputusan yang saling berkaitan.
B. Gerhan sebagai Kebijakan Publik
Kaitannya dengan program Gerhan, maka pemerintah sebagai pembuat kebijakan menyadari bahwa semakin menurunnya kwalitas dan kwantitas hutan tropis di Indonesia merupakan suatu masalah publik yang harus di atasi melalui suatu program rehabilitasi kawasan hutan dan lahan yang berkesinambungan, yang salah satu programnya yaitu Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Program Gerhan sendiri, menurut hemat penulis, lebih bersifat kepada kebijakan top down, karena rehabilitasi kawasan hutan lebih bersifat sebagai rencana strategis yang harus di lakukan pemerintah.
Namun demikian, dibalik gembar-gembor keberhasilan Gerhan dalam merehabilitasi kawasan hutan dan lahan, secara kasat mata dapat kita amati bahwa sesungguhnya kondisi kerusakan hutan tropis di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan. Menurut Prof. San Afri Awang (2006), sejujurnya harus dikatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan negara yang sejak tahun 1960-an sampai tahun 2006 dikelola dengan topdown model mengalami banyak kegagalan.
Masalah utama dari program Gerhan menurut Prof. San Afri Awang (2006) sampai tahun 2006 adalah :
(1) penetapan lokasi tanaman belum akurat dan kriteria penetapan lokasi tidak jelas (hutan sekunder, hutan tidak produktif dan tanah kosong);
(2) tidak ada satu dokumenpun yang mengarahkan kegiatan Gerhan didasarkan pada upaya memantapkan hutan sekunder eks HPH, hutan kosong, hutan tidak produktif di kawasan Taman Nasional dan lindung, dan lahan kosong milik negara, serta hutan rakyat, menjadi satuan unit pengelolaan hutan yang mantap;
(3) pelaksanaan Gerhan sejak awal untuk menjawab kerusakan hutan dan bencana lingkungan, bukan untuk meningkatkan produksi kayu dan produktivitas sumberdaya hutan. Sehingga upaya kearah pengusahaan hutan sangat lemah;
(4) organisasi (kawasan dan sumberdaya manusia) dan tata laksana operasional kawasan hutan yang sudah ditanami belum jelas;
(5) tingkat keberhasilan pembuatan tanaman dalam kawasan negara belum memuaskan;
(6) partisipasi sektor di luar Departemen Kehutanan masih sangat lemah;
(7) gerhan masih sangat jelas dianggap sebagai sebuah proyek oleh semua pihak, sehingga tolok ukurnya bersifat keproyekan. Padahal penanaman hutan berhadapan dengan tata waktu yang panjang;
(8) komitmen politik untuk dukungan anggaran keberlanjutan kegiatan Gerhan belum nampak dari DPR;
(9) pencairan dana, pembibitan dan penanaman sering terlambat sehingga kegiatan penanaman selalu terancam menghadapi resiko kegagalan yang tinggi. Konflik antar tata waktu (iklim) dengan dukungan administrasi pendanaan dan keproyekan merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan Gerhan; dan
(10) masih banyak konflik lahan hutan yang menjadi lokasi Gerhan antar masyarakat dengan pemerintah.
C. Rekomendasi Pengembangan Gerhan
Berdasarkan kondisi empiris sebagai dampak implementasi program Gerhan, maka kita tidak bisa berkelit bahwa program ini belum berjalan dengan optimal. Sehingga untuk mencapai tujuan-tujuan yang hendak dicapai sebagai dampak implementasi gerhan, maka tentu harus ada upaya-upaya perbaikan terhadap implementasi program tersebut di lapangan.
1. Communication (Komunikasi)
Komunikasi ini bertujuan untuk menghindarkan distorsi yang terjadi dalam implementasi kegiatan di lapangan, sehingga seluruh stake holder yang terlibat memiliki visi dan misi yang sama dalam melaksanakan kegiatan.
Komunikasi juga bertujuan untuk menyamakan persepsi dalam pemilihan lokasi Gerhan, sehingga lokasi yang terpilih nantinya memang tepat sasaran dan terhindar dari konflik antara pemerintah dan masyarakat.
2. Resourcess (Sumber-sumber)
Yang termasuk sumber-sumber dalam hal ini adalah :
b. SDM : dalam implementasinya, program Gerhan memerlukan SDM yang berkwalitas
c. Dukungan : sudah sewajarnya suatu program strategis di bidang lingkungan, maka dukungan politik oleh pembuat kebijakan mutlak diperlukan. Tanpa dukungan politik, maka diyakini program ini akan sulit untuk di implementasikan di lapangan
d. Wewenang : pemerintah pusat harus lebih berani untuk mendelegasikan wewenang kepada pemerintah daerah dalam mengimplementasikan program ini, karena yang berhubungan langsung dan tersu menerus di lapangan adalah pemerintah daerah
3. Dispotition/Attitudes (Sikap)
b. Sudah saatnya sikap pelaksana program baik dari lapisan paling atas sampai dengan pelaksana di lapangan harus dirubah. Gerhan tidak boleh lagi dipandang dengan tolok ukur sebagai proyek yang mengaspirasi dan bertujuan untuk kebutuhan kelompok atau pribadi tertentu, melainkan harus dikembalikan dengan tujuan awalnya yaitu mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.
c. Harus ditanamkan sikap pada pelaksana kegiatan bahwa, hutan bukanlah warisan nenek moyang, tetapi sebagai titipan anak cucu. Sehingga merehabilitasi kawasan hutan menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan secara sebaik-baiknya.
4. Bueraucratic Structure (Struktur Birokrasi)
4.1. Struktur Birokrasi External
Berangkat dari sana, maka sudah sewajarnya terjadi hubungan yang sinergi antara Menkokesra sebagai kementerian yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, Menkeu sebagai fasilitasi dana dan menhut sebagai pelaksana teknis program di lapangan.
4.2. Struktur Birokrasi Internal
Program rehabilitasi hutan dan lahan masih selalu saja dianggap sebagai milik Direktorat Jenderal RLPS, sehingga dukungan dari direktorat lainnya sangat sedikit. Situasi seperti ini sudah harus diberhentikan sebab kawasan yang akan direhabilitasi sesungguhnya menjadi lokasi di mana semua kegiatan-kegiatan pembangunan kehutanan di laksanakan (pengukuhan, tata batas, inventarisasi, pemanenan, tanaman, pemeliharaan, dan kesiapan tenaga kerja).
Peran masing-masing eselon 1 di Departemen Kehutanan bersifat saling mendukung, baik dalam pengertian administrasi maupun dalam pengertian fisik. Penetapan lokasi Gerhan dan pembentukan unit manajemen KPH sangat terkait dengan Badan Planologi, pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan sangat terkait dengan Dirjen BPK, dan pengembangan komoditas unggulan dan software ilmu pengetahuan dan teknologi akan banyak didukung oleh badan Penelitian dan Pengembangan. Melihat program Gerhan hanya dari satu sisi saja pastilah akan mengalami kegagalan.
Gerhan akan menjadi sebuah gerakan sosial yang kuat, tentu harus pula didukung oleh gerakan kebersamaan di dalam tubuh Departemen Kehutanan sendiri. Momentum program Gerhan ini oleh para rimbawan Indonesia harus mampu dijadikan momentum kebangkitan bersama hutan Indonesia. Harus dikbuktikan kepada publik Indonesia bahwa Departemen Kehutanan itu memiliki kemampuan membangun hutan yang sudah rusak dan mampu mengurangi bencana lingkungan. Selama ini Departemen Kehutanan dikenal sebagai lembaga yang menghancurkan hutan tropis Indonesia.
Sudah tentu dalam implementasi kebijakan, maka tidak bisa begitu saja dilakukan oleh pemerintah, untuk itu diperlukan peran dari berbagai pihak. Peran para pihak seperti LSM, Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, Lembaga Penelitian Kehutanan di daerah-daerah dan masyarakat sangat penting dalam melaksanakan pembentukan unit manajemen kawasan yang dibangun melalui program Gerhan.
Sebagai penutup maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
b. Dalam implementasinya, program Gerhan secara empiris belum mampu mencapai tujuannya secara optimal, disebabkan banyak faktor
d. Dalam rangka mendukung program Gerhan, maka diperlukan peran berbagai pihak seperti : lembaga penelitian, lembaga pendidikan, LSM, masyarakat sekitar hutan dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar