Kamis, 30 April 2009

ANAK TERLANTAR : GENERASI HARAPAN BANGSA YANG TERLUPAKAN

PENDAHULUAN

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini, perhatian pemerintah dan publik terhadap kehidupan anak-anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan berkembangnya organisasi kemasyarakatan yang bergerak dibidang perlindungan anak sebagai salah satu bukti masih tingginya tingkat perasaan kemanusiaan yang ada di masyarakat. Namun dibalik itu semua ternyata semakin tingginya perhatian yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat ini tidak berdampak berbanding lurus terhadap penurunan jumlah anak terlantar, tingkat kekerasan terhadap anak, perburuhan anak dibawah umur dan lain sebagainya. Kondisi anak-anak Indonesia yang kurang beruntung ini kian hari semakin kurang menggembirakan terutama bila dilihat dari sektor ekonomi dan pendidikan yang didapatnya. 

Kondisi ini disebabkan karena perhatian yang selama ini diberikan hanya sebatas tampilan fisiknya saja. Padahal di balik tampilan fisik itu ada kondisi yang memprihatinkan, bahkan kadang-kadang lebih dahsyat. Hal ini disebabkan oleh makin rumitnya krisis di Indonesia : krisis ekonomi, hukum, moral, dan berbagai krisis lainnya. 

Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).

Konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990, menyatakan, bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka mereka memerlukan perhatian dan perlindungan. 

Anak terlantar sendiri pada umumnya merupakan anak-anak yang berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Ada yang berasal dari keluarga tidak mampu, sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan latar belakang kehidupan jalanan yang akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. Bahkan yang lebih miris lagi adalah ada anak terlantar yang tidak memiliki sama sekali keluarga (hidup sebatang kara). 

Ada anak terlantar yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan tempat tinggal ayahnya karena pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak jalan yang masih tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi masih sering pulang ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya.
Selain itu kegiatan pembangunan yang pesat di perkotaan juga ternyata memberikan efek negatif terhadap kehidupan anak terlantar. Keadaan kota justru mengundang maraknya anak terlantar. Kota yang padat penduduknya dan banyak keluarga bermasalah membuat anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat, dan hidup merdeka, atau bahkan mengakibatkan anak-anak dianiaya batin, fisik, dan seksual oleh keluarga, teman, orang lain lebih dewasa. 
Anak terlantar, pada hakikatnya, adalah "anak-anak", sama dengan anak-anak lainnya yang bukan anak terlantar. Mereka membutuhkan pendidikan. Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. 


DISKRIPSI MASALAH 

Masalah paling mendasar yang dialami oleh anak terlantar adalah kecilnya kemungkinan untuk mendapatkan kesempatan dibidang pendidikan yang layak. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yaitu : 

1. Ketiadaan biaya; sebagian besar anak terlantar berasal dari keluarga dengan strata ekonomi yang sangat rendah, sehingga biaya pendidikan yang seharusnya disediakan oleh keluarga tidak tersedia sama sekali 
2. Keterbatasan waktu; untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sebagian besar anak terlantar bekerja secara serabutan untuk mendapatkan penghasilan, bahkan ada juga yang berusaha untuk mendapatkan penghasilan dari cara-cara yang kurang pantas seperti mengemis, mencuri, mencopet dan lain- lain. Sehingga waktu mereka sehari-hari banyak tersita di tempat pekerjaan, jalanan, tempat-tempat kumuh dan lain-lain. 
3. Rendahnya kemauan untuk belajar; kondisi ini disebabkan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya (teman-teman) yang didominasi oleh anak-anak yang tidak bersekolah (putus sekolah), sehingga menyebabkan adanya perspektif dalam diri anak terlantar bahwa tidak mendapatkan pendidikan yang formal bukanlah suatu hal yang perlu dicemaskan.
4. Apatisme terhadap pendidikan, kemampuan mereka untuk menghasilkan uang dalam waktu yang singkat menyebabkan mereka aptis terhadap pendidikan. Sangat disayangkan sebenarnya, karena tidak selamanya mereka harus ada dijalan untuk mengais rejeki, dan pada saat nanti mereka memutuskan untuk keluar dari lingkungan anak jalanan maka modal pendidikan sangat diperlukan.
5. Tidak berjalannya fungsi control oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah; kondisi ini disebabkan karena masing-masing disibukkan dengan aktifitasnya masing-masing

FAKTA PENDUKUNG

Anak Terlantar di Prop. Sumatera Selatan

Menurut data Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan yang dalam hal ini disampaikan oleh Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Prop. Dr. Mahyuddin, saat bertemu dengan Tim Komisi VIII DPRD-RI di Palembang, di kantor Pemerintah Sumatera Selatan, Jalan Kapten A. Rivai Palembang, anak terlantar di Sumatera Selatan pada tahun 2008 mencapai 5.088 anak. Dijelaskannya pula, dari jumlah itu, baru 4.105 anak terlantar yang dibina oleh 107 panti. Yakni di Palembang mencapai 2.100 anak, Ogan Komering Ilir 340 anak, Banyuasin 325 anak, serta beberapa kabuapten dan kota lainnya rata-rata kurang dari 200 anak. Sedangkan di Pagaralam hanya 30 anak terlantar yang dibina (Wijaya, 2008)

Hingga kini bila kita amati masih terdapat ratusan anak terlantar di Kota Palembang, Sumatera Selatan, yang telantar dan tidak mendapatkan pelayanan pendidikan memadai. Mereka pada umumnya berkeliaran di beberapa tempat mangkal, seperti di Simpang Polda, Simpang Rumah Sakit Charitas, Simpang DPRD, Simpang Jakabaring, atau stasiun kereta api di Kertapati. Sebagian besar mengaku putus atau tidak melanjutkan sekolah karena masalah ekonomi atau tidak cocok dengan sistem pendidikan yang dinilai terlalu mengekang. 

Dijalanan mereka hidup tanpa aturan yang bersifat legalistik, yang ada adalah aturan-aturan yang mereka buat sendiri, sehingga seringkali aturan yang berlaku cenderung menjadi hokum rimba. Dengan kata lain, didalam kehidupan anak terlantar “siapa kuat dia yang berkuasa” merupakan aturan yang harus selalui dipatuhi.  

Anak terlantar yang hidup dijalanan hidup mengandalkan penghasilan mengamen, menjajakan makanan kecil, atau berjualan koran. Mereka rata-rata bekerja dari pagi sampai sore hari dan mendapat penghasilan Rp 15.000 sampai Rp 25.000 per hari. Jika tidak diantisipasi, kondisi ini bisa menurunkan kualitas sumber daya manusia generasi muda pada masa mendatang (Wijaya, 2008)

Dinas Sosial Palembang selaku instansi yang bertanggung jawab menangani masalah anak terlantar khususnya di kota Palembang hanya bisa menampung dan membina sebagian kecil dari anak terlantar. Mereka antara lain dibina di Panti Bina Anak Remaja dan Panti Rehabilitasi Anak Nusantara di Kelurahan Sukabangun, Kecamatan Sukarame, serta di Panti Rehabilitasi Pengemis, Gelandangan, dan Orang Telantar di Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Sako.


Pendidikan : Hak Azazi Warga Negara Indonesia 

Pendidikan merupakan salah satu hak hakiki bagi setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkannya, hal ini tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang di wujudkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional :

1. Pasal 5 Ayat 1 :”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”
2. Pasal 6 ayat 1 :” Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”
3. Pasal 11 ayat 1 :”Pemerintah dan Pemerintah daerah berkewajiban memebrikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga tanpa diskriminasi. Dan menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun
4. Pasal 49 ayat 1: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya kedinasan dialokasikan minimumal 20 % dari APBN atau PABD”
Sehingga pemerintah dalam hal ini dalam lingkup yang lebih kecil yaitu pemerintah Propinsi Sumatera Selatan memiliki tanggung jawab untuk menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. 
Apabila pemenuhan hak hakiki akan kebutuhan pendidikan ini terlupakan oleh pemerintah pusat dan daerah, maka ditakutkan Indonesia akan kehilangan satu generasi emasnya di masa yang akan datang. 

Penganggaran Pendanaan Pendidikan 

Sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003, pada Pasal 49, ayat 1 : “ Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya kedinasan dialokasikan minimumal 20 % dari APBN atau PABD. 

Berdasarkan data yang dihimpun dari harian Sumatera Ekspress (Oktober, 2008) pemerintah propinsi Sumatera Selatan telah menganggarkan dana sebesar Rp. 560 milyar, dimana Rp. 336 milyar diantaranya digunakan untuk kesejahteraan guru, dan Rp. 224 milyar digunakan untuk pembiayaan pendidikan gratis.  
Kondisi di atas menunjukkan bahwa amanat UU No. 20 Tahun 2003, pasa 49, ayat 1 tersebut belum sepenuhnya dapat dijalankan oleh pemerintah, khususnya Propinsi Sumatera Selatan. Hal ini dapat dipahami karena memang sector pendidikan merupakan salah satu sector yang membutuhkan dana yang cukup besar.

ANALISIS MASALAH

Konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

Anak terlantar adalah anak yang berusia 5 – 18 tahun yang karena sebab tertentu (karena beberapa kemungkinan : miskin/tidak mampu, salah seorang dari orang tuanya/wali pengampu sakit, salah seorang/kedua orang tuanya/wali pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu atau pengasuh), sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial (Dinas Sosial DIY, 2006)

Adapun kriteria dari anak terlantar yaitu : a. anak (Laki-laki/perempuan) usia 5-18 tahun; b. anak yatim, piatu, yatim piatu; c. tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya; d. anak yang lahir karena tindak perkosaan, tidak ada yang mengurus dan tidak mendapat pendidikan (Dinas Sosial DIY, 2006)

Berdasarkan kondisi anak terlantar yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan yang dialami oleh anak terlantar dapat dirumuskan sebagai berikut :  
a. Anak terlantar turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena tidak berfungsinya keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Juga disebabkan karena fokus keuangan keluarga terbatas hanya pemenuhan kebutuhan sehari-hari, bukan untuk pendidikan.
b. Rendahnya pendidikan orang tua anak terlantar sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.
c. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Departemen Sosial.
d. Belum optimalnya social control di dalam masyarakat
e. Belum berperannya lembaga-lembaga organisasi sosial, serta belum adanya penanganan yang secara multi sistem base.
f. Lingkungan sosial tempat anak terlantar tinggal tidak mendukung mereka dari sisi mental psikologis untuk masuk ke sekolah formal
g. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap potensi dan kreatifitas dari anak terlantar

Alternatif Solusi Permasalahan

Berdasarkan analisa masalah yang telah disampaikan di atas, maka dapat disampaikan beberapa alternative solusi permasalahan yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut :

a. Penyediaan biaya pendidikan bagi anak jalanan
b. Peningkatan kerjasama keluarga, masyarakat dan pemerintah
c. Penghargaan terhadap prestasi anak jalanan
d. Pembuatan payung hukum yang mengatur hak dan kewajiban anak jalanan
e. Penyusunan system pembelajaran yang efektif untuk anak jalanan
f. Apreasi terhadap prestasi anak jalanan

REKOMENDASI STRATEGIS 

Berdasarkan rumusan permasalahan yang dialami oleh anak terlantar dan alternative solusi permasalahan, maka disini penulis mencoba untuk menyampaikan rekomendasi-rekomendasi yang kiranya dapat membantu dalam memecahkan permasalahan anak terlantar khususnya di Propinsi Sumatera Selatan. 

Bebaskan Biaya Pendidikan bagi Anak Terlantar dan Keluarga Miskin 

Penyebab utama kurangnya kesempatan bagi anak terlantar untuk bersekolah adalah karena sebagian besar dari anak terlantar berasal dari keluarga miskin. Sehingga dampak dari kemiskinan inilah yang memaksa orang tua mereka untuk turut serta memberdayakan anak-anaknya yang sebenarnya masih dalam usia wajib belajar untuk bekerja agar dapat membantu menopang perekonomian keluarga. 

Selain itu kemiskinan juga menyebabkan pola pikir orang tua dan anak hanya berfokus pada menjadi pemenuhan kebutuhan jangka pendek saja (makan dan minum), tanpa memperhatikan betapa pentingnya faktor pendidikan dalam mengarungi kehidupan di masa yang akan datang, terutama kehidupan yang akan dilalui oleh anak-anaknya. 

Bila dikaitkan dengan standard kebutuhan biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh Balitbang Diknas dirata-ratakan, maka kebutuhan pendidikan anak dari sekolah dasar sampai dengan lanjutan atas maka satu orang anak membutuhkan biaya sebesar Rp. 2.532.833,-, yang terdiri dari (1) buku dan alat tulis sekolah, (2) pakaian dan perlengkapan sekolah, (3) akomodasi, (4) transportasi, (5) konsumsi, (6) kesehatan, (7) karyawisata, (8) uang saku, (9) kursus, (10) iuran sekolah, dan (11) foregone earning. Berarti untuk membiayai pendidikan anak terlantar sebanyak 5.088 anak diperlukan biaya hanya sekitar sebesar Rp. 12,9 milyar.  

Perbanyak Akses untuk Mendapatkan Beasiswa

Pada dasarnya beasiswa dapat diberikan karena terpenuhinya seluruh atau salah satu persyaratan sebagai berikut : 

1. Siswa berprestasi dari keluarga mampu (beasiswa prestasi) 
2. Siswa berprestasi dari keluarga tidak mampu (beasiswa prestasi dan kondisi)
3. Siswa berprestasi rata-rata dari keluarga tidak mampu (beasiswa kondisi)

Umumnya kriteria pemberian beasiswa ini ditentukan oleh pihak pemberi beasiswa (pemerintah, sponsor dan swasta) yang harus dipenuhi oleh siswa. Namun yang paling sering dilupakan oleh pihak pemberi beasiswa adalah beasiswa pada kriteria nomor tiga, yaitu pemberian beasiswa bagi siswa dengan prestasi rata-rata namun dari keluarga tidak mampu. 

Hal ini disebabkan karena adanya paradigma pemberi beasiswa yang menganggap bahwa beasiswa diberikan sebagai bentuk penghargaan terhadap prestasi yang telah diraih oleh siswa. Namun perlu juga di ingat bahwa hakekat pemberian beasiswa itu sendiri adalah bertujuan untuk memberikan kesempatan meraih pendidikan yang lebih baik yang merupakan hak azazi seluruh anak Indonesia. Sehingga diharapkan dengan pemberian beasiswa bagi anak-anak terlantar dengan prestasi rata-rata dari keluarga tidak mampu akan meningkatkan kesempatan anak-anak terlantar tersebut untuk melanjutkan pendidikanya ke jenjang yang lebih tinggi. 

Untuk menunjang program tersebut maka kesempatan bagi anak terlantar untuk mendapatkan beasiswa perlu lebih diperbanyak lagi. Disinilah peran pemerintah tidak hanya sebagai pemberi program beasiswa, tetapi juga sebagai fasilitator antara pihak-pihak yang mampu menjadi mpenyandang dana beasiswa dengan anak terlantar yang membutuhkan, karena masih cukup banyak sumber-sumber dana yang dapat digali dalam rangka membiayai program beasiswa bagi anak terlantar seperti Badan Amil Zakat (BAZ), LSM, Yayasan Pendidikan Sosial dan program-program social lainnya dari dalam dan luar negeri. 

Selain itu, juga perlu dipikirkan mengenai bagaimana informasi pemberian beasiswa ini dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat terutama anak terlantar. Mengingat biasanya pemberian beasiswa cenderung sedikit tertutup dan tidak transparan, sehingga seringkali pemberian beasiswa ini disalah gunakan dan tidak tepat sasaran. Disinilah peran pemerintah untuk membantu masyarakat mendapatkan informasi yang seluas-luasnya melalui media televisi, radio, surat kabar dan media-media komunikasi lain yang relative mudah dijangkau oleh masyarakat tentang pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan siswa dari keluarga tidak mampu.

Tingkatkan Peran Serta Masyarakat

Tokoh Agama

Partisipasi tokoh agama sangat berperan dalam pengentasan anak terlantar. Sesungguhnya Islam memiliki konsep pembinaan keluarga. Islam juga mengajarkan betapa besar tanggungjawab orang tua dalam mendidik anak. Maka kalau anak-anak disibukkan dengan pendidikan, mereka diharapkan mereka tidak selalu turun ke jalan.
Tentang pandangan agama (Islam) terhadap perilaku anak terlantar adalah: Bahwa sesungguhnya setiap orang itu mulia, kecuali jika dia telah berperilaku tidak baik. Selama mereka berperilaku baik, tidak mencuri, menodong, maka mereka tetap orang baik di mata agama.

Sedang model yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan keluarga anak terlantar adalah: perlu diperbanyak lembaga-lembaga sosial yang dapat menampung mereka. Kemudian untuk keluarganya perlu diberikan penyuluhan mengenai peningkatan penghasilan (ekonomi keluarga).

Mengenai pelibatan tokoh agama dalam rangka pemberdayaan ekonomi keluarganya adalah bahwa tokoh agama harus ikut mendorong mereka melalui penyuluhan dan pengajian akan pentingnya peningkatan ekonomi keluarga melalui usaha produktif.
Paling tidak harus ada wadah yang dikelola secara profesional dan didukung oleh pendanaan yang cukup. Adapun bentuk wadah itu bisa saja berupa yayasan atau pesantren yang diintegrasikan dengan kegiatan belajar di dalamnya. Hal ini menjadi penting karena anak itu memiliki tugas utama yaitu belajar. Selain itu, si anak dan orang tua harus disadarkan dengan tugas dan kewajibannya masing-masing yaitu, si anak belajar dan orang tua mencari nafkah untuk keluarganya. 

Pertimbangan lainnya adalah, bahwa anak terlantar yang meminta-minta misalnya, sesungguhnya ia telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma agama, bahkan bisa merusak agama itu sendiri, khususnya agama Islam. Padahal, betapa besarnya potensi dana zakat baik zakat mal atau zakat fitrah yang bersumber dari umat Islam sendiri. Kenapa ini tidak dikelola secara baik? Kalau umat Islam mengurus umatnya saja tidak bisa, bagaimana menghadapi dakwah di tengah-tengah orang non muslim? Bersamaan dengan itu, orang-orang yang berkecukupan dari segi materi (kaya) juga harus diingatkan, bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menolong sesama. Sebaliknya para mustahik (melalui amil yang profesional), harus aktif mencari dana zakat tersebut dan dikelola serta diberdayakan sebaik mungkin.

Adapun bentuk pembinaannya haruslah komprehensif dan semua pihak harus terlibat. Pihak pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, pondok pesantren, takmir masjid yang punya akses pada kemasyarakatan semuanya harus aktif, turut mengontrol proses pembinaan serta perkembangan anak terlantar. Selain itu, pembinaan juga bukan saja dari sisi moral, akan tetapi juga harus bersifat jangka panjang. Misalnya, mereka seyogyanya diberi bekal keterampilan agama, ke depan mereka dapat mandiri dan hidup terarah sesuai cita-citanya masing-masing. 

Selain itu, pemerintah seharusnya memiliki data yang konkrit (data base) mengenai anak terlantar ini, sehingga mudah ketika akan melakukan penataan serta penanganan. Jadi intinya, untuk menangani anak terlantar ini perlu organisasi yang kuat dengan menyediakan fasilitas yang memadai, seperti perlengkapan sarana pendidikan, lembaga ekonomi umat, balai latihan kerja dan lain sebagainya. Bahkan jika perlu, libatkan pondok pesantren yang tersebar di setiap daerah, atau mungkin perlu bekerjasama dengan takmir masjid yang banyak sekali jumlahnya di DKI ini, sehingga takmir masjid kemudian tugasnya bukan hanya ritual menyelenggarakan ibadah, tetapi memiliki fungsi pembinaan yang bersifat sosial seperti anak terlantar ini.

Tokoh Akademisi

Dalam pandangan akademisi penanganan anak terlantar baik yang dilakukan pemerintah maupun pemerintah belum memperhatikan akar persoalan sesungguhnya, program-program yang dilakukan bersifat parsial bahkan tumpang tindih, hampir semua Departemen mempunyai program untuk pengentasan anak terlantar tetapi tidak didasari oleh satu jaringan kerjasama yang terkoordinir dengan baik.

Polisi misalnya tidak berani mengambil tindakan pada perilaku anak terlantar karena memandang tidak memiliki dasar hukum yang kuat padahal tugas mereka adalah menjaga ketertiban lalu lintas. Jika ada koordinasi yang baik dengan kepolisian maka dari sisi ketertiban lalu lintas seharusnya di jalan tidak ada bertebaran anak terlantar.
Departemen Sosial sebagai ujung tombak penanganan masalah ini juga tidak memperhatikan faktor-faktor struktural yang menyebabkan anak di jalanan. Secara lebih tegas persoalan struktural itu dapat dilihat pada ketiadaan koordinasi antara pemerintah daerah di perkotaan dengan daerah penyangga. 

Jadi sesungguhnya diperlukan suatu networking diantara semua institusi yang menangani kesejahteraan masyarakat. Pemda DKI dapat saja mengalokasikan anggarannya untuk pembangunan ekonomi penduduk di daerah-daerah penyangga. 


LSM

Anak terlantar harus tetap sekolah dengan cara sekolah di waktu senggang hal ini dilakukan agar anak tersebut tetap mendapat pendidikan yang layak dan memadai walaupun untuk menyadarkan anak-anak untuk sekolah masih sulit tetapi semakin hari semakin bertambah yang berminat untuk sekolah. Tidak kalah beratnya juga untuk menyadarkan orangtua agar anak-anak mereka tetap sekolah dengan berbagai penjelasan sehingga orang tua anak tersebut mendukung anaknya untuk sekolah. Untuk menangani anak terlantar, lembaga tersebut belum ada kerjasama dengan lembaga pemerintahan atau lembaga lainnya, dalam soal dana lembaga tersebut mencari donatur-donatur yang bersedia membantunya.

Panti asuhan

Keberadaan panti asuhan sebagai lembaga sosial, menjadi salah satu jawaban terhadap masalah yang dialami anak terlantar. Di panti asuhan, seorang anak bisa mendapatkan dunianya kembali melalui program-program yang diselenggarakan disana. Bahkan si anak bisa mengakses pendidikan, yang menjadi barang mahal bagi keluarga si anak sebelumnya. Ditambah kekuatan dogma agama dalam menyuruh umatnya untuk beramal, keberadaan panti asuhan yang senantiasa mendapatkan aliran dana dari masyarakat tentu saja akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup si anak tersebut. 

Sayangnya, panti-panti asuhan yang ada tidak semuanya milik pemerintah dengan keterjaminan dana. Hal ini karena jumlah anak yang meminta perhatian, lebih dari kemampuan jangkauan panti-panti asuhan milik pemerintah. Beruntung sekali jika panti asuhan non pemerintah ditangani secara profesional. Parameternya biasanya dalam hal efisiensi dana. Jika pemasukan dana panti asuhan lancar, tentunya pekerjaan berikutnya hanya tinggal bagaimana cara mengefisiensikan dana tersebut. Sementara jika pemasukan dana seret, akan berimbas pada kondisi yang dialami penghuni panti asuhan tersebut. Lagi-lagi karena pemerintah tidak sanggup memberikan solusi, maka permasalahan ini menjadi tanggung jawab masyarakat.

Orangtua Asuh

Sistem orangtua asuh bisa jadi menjadi salah satu jawaban. Bedanya system ini lebih membutuhkan inisiatif pribadi si orangtua asuh. Konsekuensinya pelayanan terhadap anak akan lebih maksimal karena biasanya si orangtua keadaannya lebih mapan. Bahkan kalau dihitung ongkos efisien per orang, angkanya jauh lebih besar daripada di panti asuhan. 

Jika melihat jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak diikuti persentase umat beragama yang besar pula, seharusnya sistem orangtua asuh dengan model apapun bisa menutupi kebutuhan anak terlantar. Ketimpangan kondisi ekonomi penduduk Indonesia sayangnya tidak diikuti oleh pembagian harta yang baik lewat mekanisme sosial. Akibatnya yang kaya tetap kaya tanpa peduli sekelilingnya dan yang miskin tetap miskin sambil hanya bisa berkhayal turunnya uang dari langit.

Siapkan Sistem Pembelajaran

Pendidikan, pada prinsipnya, hendaknya mempertahankan anak yang masih sekolah dan mendorong mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, juga memfasilitasi anak yang tak lagi bersekolah ke program pendidikan luar sekolah yang setara dengan sekolah. Program itu antara lain berupa : Kejar Paket A dan Kejar Paket B yang merupakan program pendidikan setara SD/SLTP dan pelatihan-pelatihan.

Khusus untuk anak terlantar, pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah "rumah singgah" dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu : anak terlantar dilayani di rumah singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM. 
Rumah singgah dan PKBM itu dipadukan dengan-sekaligus menerapkan-pendekatan kelompok dan CBE (Community Based Education, pendidikan berbasis masyarakat) serta strategi pembelajaran partisipatif dan kolaboratif (participative and collaborative learning strategy). 

Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa : Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri.

Materi pembelajarannya mencakup : agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha. 
Prestasi belajar dan keberhasilan program dievaluasi dengan tahapan self-evaluation berikut : (1) penetapan tujuan belajar; (2) perumusan kriteria keberhasilan belajar; (3) pemantauan kegiatan belajar; serta (4) penetapan prestasi belajar dan keberhasilan program. 
Hasil evaluasi itu diungkapkan pada akhir masing-masing kegiatan melalui laporan lisan atau tertulis. Hasil evaluasi kegiatan belajar insidental dilaporkan secara lisan atau ditempel pada papan pengumuman yang terdapat di rumah singgah atau PKBM, sedangkan hasil evaluasi kegiatan belajar berkesinambungan dilaporkan melalui buku raport. Adapun keberhasilan program diungkapkan secara berkala : harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. 

Keseimbangan Belajar-Bermain-Berprestasi

Seperti yang telah diutarakan pada bagian latar belakang di atas, anak terlantar pada hakikatnya adalah sama dengan anak kebanyakan umumnya. Mereka dalam kesehariannya memerlukan berbagai aktifitas yang terdiri dari aktifitas belajar, aktifitas untuk bermain dan aktifitas untuk berprestasi. Pada dasarnya aktifitas ini juga merupakan hak mereka yang paling hakiki yang wajib dipenuhi oleh Negara.

Banyak data yang menyebutkan bahwa salah satu penyebab putusnya sekolah (pendidikan) bagi anak-anak terlantar disebabkan karena sebagian besar anak terlantar tidak terbiasa untuk mengenyam pendidikan secara formal yang sudah terjadwal sedemikian rupa. Hal ini disebabkan karena dalam kesehariannya anak terlantar terbiasa hidup bebas dan jauh dari aturan-aturan yang bersifat mengikat. Sehingga mereka cenderung menolak bila dipaksa untuk bersekolah secara formal dan menjadikan pendidikan formal menjadi tidak tepat bila akan diterapkan bagi anak terlantar khususnya anak yang berada di jalanan.

Untuk itu perlu dicarikan solusi dalam hal pengaturan system belajar mengajar yang tepat bagi anak terlantar. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan antara masing-masing aktifitas ini akan menimbulkan rasa keinginan dan kemauan yang lebih besar bagi anak terlantar untuk mengubah kehidupannya kearah yang lebih baik. 

Menjaga dan Menghargai Kreatifitas Anak

Anak, dalam melakukan aktifitasnya dalam belajar-bermain dan berprestasi juga seringkali secara sadar ataupun tidak sadar melakukan keratifitas yang positif. Kreatifitas ini seringkali dilupakan oleh masyarakat sehingga akhirnya kreatifitas ini menjadi padam dengan sendirinya. 

Dengan menjaga dan menghargai kreatifitas anak terlantar maka diharapkan mereka akan menemukan solusi secara mandiri bagaimana cara untuk mengubah kondisi kehidupannya saat ini menjadi kea rah yang lebih baik lagi. 

Untuk menjaga kreatifitas anak-anak terlantar maka diperlukan suatu wadah baik formal maupun informal yang dapat menampung berbagai kreatifitas mereka. Wadah ini dapat berwujud seperti pagelaran seni dan budaya anak jalanan, pameran produksi anak jalanan dan lain sebagainya. Diharapkan dengan adanya wadah ini akan semakin menumbuh kembangkan kreatifitas anak terlantar untuk hal-hal yang bersifat positif. 

Pemberdayaan Keluarga

Keluarga adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan. Secara umum keluarga memiliki fungsi (a) reproduksi, (b) sosialisasi, (c) edukasi, (d) rekreasi, (e) afeksi, dan (f) proteksi 

Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayan Barat utamanya Eropa. Secara umum pemberdayaan keluarga dipahami sebagai usaha menciptakan gabungan dari aspek kekuasaan distributif maupun generatif sehingga keluarga memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. 

Untuk memberdayakan keluarga dari anak terlantar, tentu memerlukan campur tangan pemerintah yang sangat besar. Pemberdayaan keluarga dapat dilakukan dengan memberikan modal bergulir kepada keluarga tidak mampu, sehingga keluarga tersebut dapat menggunakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah sebagai modal awal dalam menambah penghasilan keluarga. Aktifitas yang dapat dilakukan oleh keluarga tidak mampu dalam memanfaatkan modal bergulir tersebut bisa dalam bentuk berdagang dalam skala kecil, berternak ayam, budi daya ikan dan lain sebagainya. 

Namun yang menjadi permasalahan adalah pengalaman pada masa-masa yang lalu, dimana modal bergulir yang diberikan oleh pemerintah sering kali mandek pada satu keluarga saja (gagal bergulir). Disinilah pemerintah perlu membuat payung hukum yang mengatur hak dan tanggung jawab keluarga penerima bantuan. Sehingga keluarga yang tidak memiliki niat baik untuk menggulirkan modal usaha tersebut akan menerima sanksi yang berat.

Payung Hukum bagi Program Penanganan Anak terlantar

Untuk memberikan payung hukum penanganan anak jalanan perlu diterbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Perda) sebagai implementasi Undang-undang tentang penggelandangan, yang mengatur teknis pelaksanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi penanganan anak jalanan serta tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Dengan adanya PP atau Perda maka diharpkan program peningkatan pendidikan anak terlantar dapat berjalan secara efektif dan efisien, transparan dan akuntabel.


Pemberdayaan Instansi Terkait

Sebenarnya sudah ada instansi terkait yang diserahi tugas dan tanggung jawab untuk menangani permasalahan anak terlantar ini. Namun dalam praktiknya di lapangan penanganan anak terlantar khususnya sektor pendidikan tidak hanya memerlukan program yang efektif dan efisien, tetapi juga memerlukan biaya yang sangat besar. 

Sehingga untuk lebih memberdayakan Departemen Sosial dan Dinas Sosial dalam menangani masalah pendidikan anak terlantar, maka pemerintah perlu memberikan kewenangan yang lebih besar lagi bagi instansi terkait dan alokasi dana yang mencukupi untuk program tersebut.

PENUTUP

Anak terlantar harus dipandang sebagai bukan hanya tanggung jawab Negara, melainkan juga tanggung jawab pihak swasta dan masyarakat umum. Sehingga Negara, swasta dan masyarakat dapat duduk bersama untuk mencarikan solusi terbaik bagi masa depan mereka terutama dalam sektor pendidikan. 

Untuk mengatasi permasalahan pendidikan dari anak terlantar dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 
1. Bebaskan Biaya Pendidikan Bagi Anak Terlantar Dan Keluarga Miskin
2. Perbanyak Akses untuk Mendapatkan Beasiswa
3. Tingkatkan Kerjasama Pemerintah dan Masyarakat
4. Siapkan Sistem Pembelajaran
5. Keseimbangan Belajar-Bermain-Berprestasi
6. Menjaga dan Menghargai Kreatifitas Anak
7. Pemberdayaan keluarga
8. Pemberian Payung Hukum dalam menangani pendidikan anak terlantar
9. Pemberdayaan instansi terkait 


LITERATUR

Balitbang Diknas. 2004. Satuan Biaya Pendidikan. (Dikutip Oleh Media Indonesia) Jakarta

BPS Prop. Sumsel.2007. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SD, SMP dan SMU di Prop. Sumsel. Palembang

Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta. 2006. Definisi dan Kriteria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta. 

Sumatera Express. 2008. Stop Putus Sekolah : Pemrop-Pemkot Anggarkan Pendidikan Gratis. Palembang

Wijaya, T. 2008. Anak Jalanan Sumsel Capai 5.088. Website : Detik News.Com


 

2 komentar: