Kamis, 28 Mei 2009

Konsep meningkatkan kualitas dan hasil tanaman hutan rakyat

Tujuan pembangunan hutan dan kehutanan pada prinsipnya mencakup kegiatan peningkatan kualitas dan kuantitas hutan dan terselenggaranya sistem pengelolaan hutan berdasarkan azas manfaat, adil dan lestari. Dengan tercapainya tujuan pembangunan hutan dan kehutanan tersebut diharapkan akan dapat mengembalikan fungsi hutan sebagai anugerah yang tak ternilai harganya. 

Salah satu faktor penentu keberhasilan kegiatan pembangunan hutan adalah keberhasilan dalam kegiatan penanaman berupa reboisasi, penghijauan maupun kegiatan penanaman lainnya. Selanjutnya faktor yang menentukan keberhasilan kegiatan penanaman adalah ketersediaan bibit berkualitas, dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu dibutuhkan, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kualitas hutan yang akan datang. 

Kegagalan penyediaan bibit berkualitas ini seringkali disebabkan oleh gagalnya kegiatan penyediaan benih dalam jumlah yang cukup, bermutu tinggi dan tepat waktu. Untuk mengatasinya maka tentu diperlukan sumber daya manusia dibidang perbenihan yang memiliki kemampuan dalam hal penanganan benih dan sarana prasarana pembuatan bibit yang memadai.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya menyadari tentang arti pentingnya penggunaan benih dan bibit berkualitas dalam setiap kegiatan penanaman, sehingga akhirnya disamping produktifitas hasil hutan tanaman menjadi rendah. Masyarakat seringkali masih terkungkung dalam paradigma bahwa dalam membangun hutan (penanaman) tidak perlu memperhatikan kualitas tanaman yang dihasilkan nantinya, sehingga prinsip “asal hijau” masih diterapkan (Balai Perbenihan Tanaman Hutan Denpasar, 2000).

Melalui program Benih Untuk Rakyat, masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kemampuan teknisnya dalam memproduksi benih dan bibit bermutu dengan mengoptimalkan sarana persemaian yang telah difasilitasi oleh pemerintah. Diharapkan, melalui fasilitas persemaian tersebut masyarakat mampu memenuhi kebutuhan benih dan bibit tanaman hutan bermutu dalam jumlah yang cukup dan tersedia tepat waktu untuk memenuhi kebutuhan benih dan bibit untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat.

Rabu, 20 Mei 2009

Kode Etik Rimbawan

Rimbawan adalah seseorang yang mempunyai pendidikan kehutanan dan atau pengalaman di bidang kehutanan dan terikat oleh norma-norma sebagai berikut:

1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Menempatkan hutan alam sebagai bagian dari upaya mewujudkan martabat dan integritas bangsa di tengah bangsa-bangsa lain sepanjang jaman.

3. Menghargai dan melindungi nilai-nilai kemajemukan sumberdaya hutan dan sosial budaya setempat.

4. Bersikap obyektif dalam melaksanakan segenap aspek kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial hutan secara seimbang dimanapun dan kapanpun bekerja dan berdarma bakti.

5. Menguasai, meningkatkan, mengembangkan, mengamalkan ilmu dan teknologi berwawasan lingkungan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan.

6. Menjadi pelopor dalam setiap upaya pendidikan dan penyelematan lingkungan dimanapun dan kapanpun rimbawan berada.

7. Berprilaku jujur, bersahaja, terbuka, komunikatif, bertanggung gugat, demokratis, adil, ikhlas dan mampu bekerjasama dengan semua pihak sebagai upaya dalam mengemban profesinya.

8. Bersikap tegar, teguh dan konsisten dalam melaksanakan segenap bidang gerak yang diembannya, serta memiliki kepekaan, proaktif, tanggap, dinamis dan adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis yang mempengaruhinya baik di tingkat lokal, nasional, regional, dan global.

9. Mendahulukan kepentingan tugas rimbawan dan kepentingan umum (publik interest) saat ini dan generasi yang akan datang, di atas kepentingan-kepentingan lain.

10. Menjunjung tinggi dan memelihara jiwa korsa rimbawan.
 

Cangkuang - Sukabumi, 4 Nopember 1999

Minggu, 17 Mei 2009

Rehabilitasi Hutan Pantai


Daerah pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat. Karena hempasan gelombang dan hembusan angin maka pasir dari pantai membentuk gundukan ke arah darat. Setelah gundukan pasir itu, terdapat tegakan hutan yang dinamakan hutan pantai. 

Hutan pantai merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomi. Secara fisik hutan pantai mampu memecah energi angin air laut sehingga bermanfaat sebagai buffer zone dari bencana alam tsunami maupun fungsi penyangga. Selain itu optimalisasi pemanfaatan lahan pantai dengan vegetasi tanaman tahunan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap pengurangan dampak pemanasan global. 

Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ir. Indriastuti, MM) didampingi Kepala Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo (Ir. Bambang Priyono, Msi), Kepala Bidang Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kebumen dan jajaran KODIM Kabupaten Kebumen pada Jumat 01 Mei 2009 melakukan kunjungan lapangan ke hutan pantai di pesisir pantai selatan Kabupaten Kebumen. Hutan Pantai di wilayah Kabupaten Kebumen dibangun oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kebumen dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo sebagai realisasi kegiatan GERHAN. 

Pada lokasi tersebut ditamam jenis Cemara Laut, Nyamplung dan Ketapang Laut. Pemilihan ketiga jenis tanaman tersebut sudah mempertimbangan kesesuaian persyaratan habitat tumbuh tanaman, nilai estetika, nilai ekonomis dan permintaan masyarakat setempat. Ketiga jenis tanaman tersebut memiliki batang yang kokoh untuk menahan terpaan angin laut, selain itu tanaman Nyamplung dan Ketapang Laut memiliki daun yang relatif tebal dan lebar yang dapat berfungsi menahan/mematahkan angin. 

Keunggulan lain jenis Ketapang Laut dan Cemara Laut memiliki tajuk yang melebar yang dapat menjadi naungan di wilayah sekitarnya sehingga menciptakan iklim mikro yang berbeda sedangkan jenis biji Nyamplung dapat diolah menjadi bahan bakar alternatif (bio fuel) yang dapat mengganti penggunaan bahan bakar solar. 

Secara ekonomi pembuatan hutan pantai akan semakin mendorong pengembangan pariwisata pantai sehingga dapat meningkatkan potensi dan peluang berusaha bagi warga masyarakat sekitar. Selain itu potensi dan peluang berusaha juga didapat dari pengolahan biji Nyamplung menjadi minyak Nyamplung yang ramah lingkungan. Dengan demikian kondisi lingkungan juga dapat terjaga keberlanjutannya. 

Sumber:http://www.dephut.go.id

Kamis, 14 Mei 2009

Model-model Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)

Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”.

Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. 

Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar. Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif top down adalah sebagai berikut : 

1. Van Meter dan Van Horn

Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008), implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah sebagai berikut : 

1. Aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi 
2. Karakteristik agen pelaksana/implementor 
3. Kondisi ekonomi, social dan politik 
4. Kecendrungan (dispotition) pelaksana/implementor

2. George Edward III 

Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai dengan pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan sebagai berikut, yaitu : 

1. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan ? 
2. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan?
Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, Edward III, mengusulkan 4 (empat) variable yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu :
1. Communication (komunikasi) ; komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan, serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan informasi 

2. Resourcess (sumber-sumber) ; sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud adalah : 

a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan kebijakan 
b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi 
c. dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan 
d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan. 

3. Dispotition or Attitude (sikap) ; berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya 

4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) ; suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi. 

3. Mazmanian dan Sabatier 

Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan implementasi sebagai upaya melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka : 

“Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but wich can also take the form of important executives orders or court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a vaiety of ways, ‘structures’ the implementation process”. 

Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga variable, yaitu (Nugroho, 2008) : 
a. Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. 
b. Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indicator kejelasan dan konsistensi tujuan
c. Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi social ekonomi dan teknologi, dukungan public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana

5. Model Grindle 

Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. 

Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut : 
1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan 
2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan 
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Kedudukan pembuat kebijakan 
5. Pelaksana program 
6. Sumber daya yang dikerahkan 

Sementara itu, konteks implementasinya adalah : 

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 
2. Karakteristik lembaga dan penguasa 
3. Kepatuhan dan daya tanggap

Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

Implementasi Kebijakan Bottom Up

Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. 

Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. 

Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu : 
1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya 
2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan. 
4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.

Senin, 04 Mei 2009

Wadah dan Lama Penyimpanan Benih

Wadah Simpan 

Penyimpanan benih merupakan salah satu cara yang dapat menunjang keberhasilan penyediaan benih, mengingat bahwa kebanyakan jenis pohon hutan tidak berbuah sepanjang tahun sehingga perlu dilakukan penyimpanan yang baik agar dapat menjaga kestabilan benih dari segi kuantitas maupun kualitasnya (Widodo, 1991).

Menurut Schmidt (2000), tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk menjamin persediaan benih yang bermutu bagi suatu program penanaman bila diperlukan. Jika waktu penyemaian dilaksanakan segera setelah pengumpulan benih maka benih dapat langsung digunakan di persemian sehingga penyimpanan tidak diperlukan. Akan tetapi kasus semacam ini sangat jarang terjadi, hal ini disebabkan karena pada daerah dengan iklim musim yang memiliki musim penanaman pendek sangat tidak memungkinkan untuk langsung menyemai benih, sehingga benih perlu disimpan untuk menunggu saat yang tepat untuk disemai. 

Kegiatan penyimpanan benih tidak terlepas dari penggunaan wadah simpan. Menurut Siregar (2000), beberapa sifat khusus yang harus diperhatikan dari wadah simpan adalah :

1. Permeabilitas, yaitu kemampuan wadah untuk dapat menahan kelembaban dan gas pada level tertentu
2. Insulasi, yaitu kemampuan wadah untuk mempertahankan suhu
3. Ukuran lubang, yaitu kemampuan wadah untuk bertahan dari serangan serangga dan mikroorganisme yang dapat masuk melalui celah-celah kemasan
4. Kemudahan dalam hal penanganan seperti tidak licin, mudah ditumpuk, mudah dibuka, ditutup, disegel dan mudah dibersihkan.
5. Biaya, harus diperhitungkan dengan nilai nominal dari benih sendiri

Wadah simpan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam yakni wadah yang kedap udara dan wadah yang permeable (Widodo, 1991). Wadah kedap adalah wadah yang tidak memungkinkan lagi terjadi pertukaran udara antara benih yang disimpan dengan lingkungannya, sedangkan wadah permeabel adalah wadah yang masih memungkinkan terjadinya pertukaran udara antara benih dengan lingkungannya. 

Menurut Siregar (2000), contoh dari wadah yang permeabel adalah karung goni, kantong kain, karung nilon, keranjang, kotak kayu, kertas, karton dan papan serat yang tidak dilapisi lilin. Sedangkan wadah yang tidak permeabel adalah kaleng logam, botol dan gelas. 
Justice dan Bass (1979), mengemukakan bahwa penggunaan wadah dan cara simpan benih sangat tergantung pada jenis, jumlah benih, teknik pengepakan, lama penyimpanan, suhu ruang simpan dan kelembaban ruang simpan. 

Lama Penyimpanan

Berapa lama benih dapat disimpan sangat tergantung pada kondisi benih dan lingkungannya sendiri. Beberapa tipe benih tidak mempunyai ketahanan untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama atau sering disebut benih rekalsitran. Sebaliknya benih ortodoks mempunyai daya simpan yang lama dan dalam kondisi penyimpanan yang sesuai dapat membentuk cadangan benih yang besar di tanah (Schmidt, 2000).

Meskipun tipe ortodoks dan rekalsitran relatif jelas perbedaannya, daya tahan benih untuk bertahan pada saat penyimpanan meliputi variasi yang luas, dari yang sangat rekalsitran, intermediate sampai ortodoks (Schmdit, 2000). Pada umumnya semakin lama benih disimpan maka viabilitasnya akan semakin menurun. Mundurnya viabilitas benih merupakan proses yang berjalan bertingkat dan kumulatif akibat perubahan yang diberikan kepada benih (Widodo, 1991). 

Stubsgaard (1992) dalam Siregar (2000), mengemukakan bahwa periode penyimpanan terdiri dari penyimpanan jangka panjang, penyimpanan jangka menengah dan penyimpanan jangka pendek. Penyimpanan jangka panjang memiliki kisaran waktu puluhan tahun, sedangkan penyimpanan jangka menengah memiliki kisaran waktu beberapa tahun dan penyimpanan jangka pendek memiliki kisaran waktu kurang dari satu tahun. Tidak ada kisaran pasti dalam periode penyimpanan, hal ini disebabkan karena periode penyimpanan sangat tergantung dari jenis tanaman dan tipe benih itu sendiri. 

LITERATUR 

Justice and Bass. 1979. Prinsiples and Praktices of Seed Storage. Castle House Publications LTD

Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta

  
Siregar, S.T. 2000. Penyimpanan Benih (Pengemasan dan Penyimpanan Benih). Balai Perbenihan Tanaman Hutan Palembang. Palembang  

Widodo, W. 1991. Pemilihan Wadah Simpan dan Bahan Pencampur pada Penyimpanan Benih Mahoni. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor

Mahoni (Swietenia macrophylla King)

1. Sistematika, Botani dan Lukisan Pohon

Menurut King dalam Martawijaya et.al (1989), mahoni (Swietenia macrophylla King) diklasifikasikan sebagai berikut : 

Divisio         : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae 
Kelas           : Dicotyledoneae
Ordo            : Meliales 
Famili          : Meliaceae 
Genus          : Swietenia
Species       : Swietenia macrophylla King

Mahoni termasuk pohon besar dengan tinggi pohon mencapai 35-40 m dan diameter mencapai 125 cm. Batang lurus berbentuk silindris dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna coklat kehitaman, beralur dangkal seperti sisik (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). Kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi coklat tua, beralur dan mengelupas setelah tua (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).

Tajuk pohon berbentuk kubah, daun berwarna hijau gelap, rapat dan menggugurkan daun. Setelah daun gugur akan segera muncul tunas-tunas muda berwarna hijau muda. Kedudukan daun bersilangan pada ranting dengan ukuran daun lebih besar dibanding Swietenia mahagony (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). 

Mahoni berbuah pada umur 10-15 tahun, buah masak pada periode April – Juli. Buah mahoni cukup keras dengan panjang 5-15 cm, diameter 3-6 cm, umumnya memiliki 5 ruang berbentuk kapsul dan merekah pada saat masak. Buah merekah mulai dari pangkal buah dan terdapat 5 kolom lancip memanjang hingga ujungnya, dimana pada bagian ini sayap dan benih saling menempel (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).  

Benih berwarna coklat bersayap yang panjangnya 4-5 cm, kotiledone berada pada dua pertiga panjang sisi benih. Benih tersebar dengan bantuan angin dan setiap buah terdiri dari 35-45 butir benih (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).

Benih tanpa sayap dapat langsung ditabur tanpa perlakuan pendahuluan di atas pasir yang telah disterilkan dengan atau tanpa naungan. Benih ditabur dengan bagian biji yang tebal disebelah bawah dan bagian potongan sayap disebelah atas media sedalam 4 cm. Benih berkecambah 14 hari setelah penaburan dan siap disapih 7 hari setelah berkecambah (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000).

2. Penyebaran dan Tempat Tumbuh

Mahoni adalah jenis yang tumbuh pada zona lembab, sifat ekologis yang sangat penting pada jenis ini adalah kemampuan tumbuh di daerah yang kering sehingga sangat baik untuk digunakan pada kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).

Tanaman mahoni dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang sarang dengan ketinggian 0 - 1.500 m dpl, temperatur tahunan 11-36 ÂșC dan curah hujan tahunan 1.524 –5.085 mm (Balai Produksi dan Pengujian Benih, 1986). Menurut Ardikoesoema dan Dilmy (1956) dalam Kartiko (1998), tanaman mahoni memperlihatkan pertumbuhan yang baik pada tanah-tanah yang paling kurus sekalipun.

3. Pemanfaatan 

Secara komersial jenis ini tidak berarti apabila dalam jumlah yang kecil, dan akan berpotensi apabila ditanam dalam jumlah skala yang besar, terutama di daerah kering yang akan menghasilkan kayu dengan kualitas yang baik. Jenis ini juga sering digunakan pada kegiatan agroforestry untuk meningkatkan kualitas tanah dan sebagai tanaman turus jalan.  

Menurut Martawijaya et al (1989), kayu mahoni memiliki kelas kuat II dan kelas awet II-III. Kayu mahoni dapat digunakan untuk kayu perkakas dan bahan bangunan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Selain kayu, biji mahoni dikenal dapat digunakan sebagai obat penyembuh sakit gula (Kartiko, 1998).

LITERATUR

Balai Produksi dan Pengujian Benih. 1986. Petunjuk Teknis dan Pengujian Mutu Benih Mahoni (Swietenia macrophylla King). Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Palembang

Balai Perbenihan Tanaman Hutan Palembang . 2000. Diskripsi Jenis Tanaman Hutan Sumatera. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Palembang

Kartiko, H.D.P. 1998. Penyimpanan dan Perkecambahan Benih Mahoni. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor.

Martawijaya, A., I.K.Sujana., Y.I. Mandang, S. Amang., P.K. Kadir., 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor



Minggu, 03 Mei 2009

Sabtu, 02 Mei 2009

MARS SERUAN RIMBA

Hai perwira, Rimba raya Mari kita bernyanyi
Memuji hutan rimba dengan lagu yang gembira
Dan nyanyian yang murni
Meski sepi hidup kita
Jauh ditengah rimba
Tapi kita gembira sebabnya kita bekerja untuk nusa dan bangsa

Rimba raya rimba raya |
Indah permai dan mulia | 2 x
Maha taman tempat kita bekerja |

Rimba raya maha indah
Cantik, molek, perkasa
Penghibur hati susah penyokong nusa dan bangsa
Rimba raya selalu
Disitulah kita bekerja disinar matahari
Gunung lembah berduri haruslah kita lalui dengan hati yang murni

Rimba raya rimba raya |
Indah permai dan mulia | 2 x
Maha taman tempat kita bekerja |

Pagi petang, siang malam
Rimba raya berseru
Bersatulah bersatulah, tinggi rendah jadi satu
Pertolongan selalu
Jauhkanlah sikap kamu yang mementingkan diri
Ingatlah Nusa dan Bangsa minta supaya dibela oleh kamu semua

Rimba raya rimba raya |
Indah permai dan mulia | 2 x
Maha taman tempat kita bekerja |

Diulang berkali2 sampai pingsan ya ….